Bab 24

9.4K 489 65
                                    

Yuna dengan riang gembira memasuki ruang bersalin. Ia melihat sang kakak yang sedang terbaring dengan wajah tegang dan menahan sakit. Lalu ada mama di samping Sita yang sibuk menenangkan dan sesekali memberi minum. Di sebelah kanan ada Jaka yang mengelap keringat Sita yang terus mengucur.

Yuna nampak ragu untuk masuk, takut ia akan membuat ruang bersalin menjadi pengap. Tapi Yuna tetap masuk dan memberi senyum manisnya.
"Mbaakkk!!" Seru Yuna. Semua orang langsung melihat Yuna. Sita hanya diam, tak senyum. Mungkin menahan rasa sakit di perutnya.
Yuna berdiri di samping mama.
"Sama siapa ke sini, Yun?" Tanya Jaka.
"Papa, kak."
"Yuna, udah makan?" Tanya mama.
"Belum ma."
"Makan dulu gih sana."
"Dimana?" Tanya Yuna blo'on.
"Di warung depan. Sana sama papa sekalian. Papa juga belum makan."

Mama memberikan uang kertas 50ribu. Yuna pun menerimanya. "ada yang mau nitip nggak?" Tanya Yuna.
"Beliin mbak mu teh manis aja. Teh nya udah abis," ujar mama.
"Siap, kak Jaka? Beli apa?"
"Enggak usah dek, kak Jaka nggak pengen apa-apa."
"Ok."

Yuna pun melangkah pergi dari ruangan. Ia menghampiri papa yang duduk di luar.
"Papa, kata mama suruh makan dulu." Papa mengangguk dan mereka pun makan di warteg dekat klinik. Tak lupa Yuna memesan teh dan membawanya ke klinik lebih dulu.

Saat akan masuk ke dalam ruang bersalin. Yuna mendengar detak jantung bayi. Yuna menahan tangisnya. Rasanya sudah tak sabar ingin melihat ponakan lucunya.
"Detaknya bagus ya bu, terus tahan jangan mengejan, ini masih pembukaan 7," jelas bidan.
"Bu, kok lama sekali ya?" Tanya mama.
"Hal seperti ini wajar kok bu, sabar saja ya." Bidan itu kembali keluar dari ruangan. Saat melewati Yuna. Yuna hanya tersenyum kecil dan masuk ke dalam ruangan. Memberikan teh manis pesanan mama.

"Kamu udah makan?" Tanya mama.
"Belum, aku anter teh dulu. Baru balik lagi." Mama mengangguk. Yuna tak tega melihat kakaknya yang terlihat sangat kesakitan. Yuna menyentuh perut Sita. Terasa sekali gerakan pelan di dalamnya. Rasanya Yuna ingin membelah perut Sita dan mengeluarkan di mungil. Agar kakaknya bisa bernafas lega. Tapi Yuna bukan dokter bedah. Hufh....

Yuna pun pamit keluar untuk kembali makan.

🍁🍁🍁

Hingga malam menjelang. Sita tak kunjung juga lahiran. Proses pembukaan sita terbilang sangat lambat. Yuna dan keluarga besar sudah berkumpul di luar ruangan. Mereka semua berdoa yang terbaik untuk Sita dan calon anaknya.

"Yuna, doa dong. Jangan malah bengong," tegur mbak Dian. Salah satu tantenya. Tapi Yuna biasa memanggil mbak.
"Ia, Yuna doa terus kok dalam hati."
"Oh ya, anaknya cowok apa cewek sih Yun?" Tanya Mbak Dian.
"Di USG sih cowok."
"Cowok lagi? Wah...serunya."
"Hehehe iya, jadi jagoan Yuna nanti."
"Hahaha...iya kamu kan tomboy akut."
Yuna meringis. "hehehe iya mbak, nanti bakal Yuna ajarin bela diri. Biar kalau ada yang macem-macem sama ponakan aku, dia bisa ngelawan."
"Sekarep mu, Yun."
"Dih beneran mbak, harus itu." Mbak Dian hanya mengangguk dan terus mendengarkan celotehan Yuna tentang ponakannya yang akan lahir.

Berbagai hal yang akan Yuna lakukan nanti saat ponakan sudah besar. Mereka mengobrol hingga malam semakin larut. Mbak Dian melihat jam tangannya.
"Kok belum lahir juga ya, udah jam 10 malem ini?" Yuna tersentak. Entah kenapa dadanya sakit. Ia melihat jam juga di ponselnya. Lalu bangun dari duduknya dan berjalan ke arah ruang bersalin.

Pintu tertutup rapat. Artinya persiapan lahiran sudah di mulai. Yuna hanya terus berdoa. Dan berdoa.
"Dalam hitungan tiga mengejan ya Bu." Terdengar komando dari bidan. Yuna latah dan ikut mengejan. Lalu tersadar dan merutuki dirinya sendiri.

Yuna kembali ke luar dan duduk di samping mbak Dian lagi.
"Gimana Yun?" Tanya Mbak Dian.
"Tadi aku denger lagi di suruh ngejen."
"Oh, bentar lagi berarti. Sabar ya." Yuna mengangguk.

Mereka kembali diam dan terus berdoa di dalam hati.

🍁🍁🍁

Sita terus berusaha mengejan. Tapi entah kenapa sulit sekali untuk membuat anaknya keluar. Mama panik karena sudah hampir satu jam Sita mengejan.
"Bu, ini nggak pakai tindakan operasi?" Tanya mama.
"Nggak Bu, semuanya berjalan lancar. Ibu berdoa saja ya."
"Tapi ini sudah terlalu lama. Kasihan anak saya, Bu. "
"Bu, ibu tenang. Semua akan baik-baik saja. Ibu berdoa yang terbaik untuk anak ibu."

Mama sudah benar-benar panik. Jaka sibuk menyemangati Sita. Sementara Sita sudah nampak sangat kewalahan. Keringat deras mengucur dari tubuhnya. Pakaiannya sudah basah kuyup. Tapi tidak juga ada kemajuan.

Bidan terus berusaha. Ia mengecek jantung bayi lagi. Terdengar sehat. Dan normal. Sita sudah tak kuasa menahan sakit. Ia bingung. Tangan Jaka terus ia genggam dengan sangat kuat. Tak peduli jika Jaka menahan sakit. Sita benar-benar merasakan sakit yang luar biasa. Ini lebih sakit dari lahiran pertama.

"Mama...sakit...ma," ucap Sita lirih. Mama sudah tak bisa lagi membendung air matanya. Ia menangkup wajah sang anak.
"Sabar ya nak, kamu pasti bisa. Demi anak mu ya." Sita mengangguk dan air matanya terus mengalir.
"Sayang, jangan menyerah. Kita semua disini mendoakan kamu dan anak kita. Kamu harus semangat ya sayang." Sita hanya diam. Tak mengangguk. Wajahnya pucat. Tubuhnya lemas.

Mama dan Jaka panik bukan main.
"Bu bidan. Ini harus ada tindakan lain. Anak saya sudah tidak sanggup bila harus lahiran normal!!" Bentak mama. Tapi lagi-lagi Bu bidan hanya bisa meminta mama untuk bersabar. Semua akan berjalan lancar. Mama harus percaya dengan ucapan bidan. Mama lemas. Tak tahu lagi harus apa. Sementara darah sudah mulai mengucur dari selangkangan Sita.

Bidan terus bekerja. Hingga mereka sendiri mulai kepayahan. Sita di infus dan beri oksigen dari selang hidung. Sita sudah nampak benar-benar lemas dan tak bertenaga. Namun bidan masih saja terus meminta Sita untuk berjuang.

Hingga satu jam lewat. Kepala bayi akhirnya keluar. Namun sayang, bidan tak sanggup untuk mengeluarkan bayinya. Karena pundak bayi yang lebar dan di tambah ada lilitan pusar. Membuat jalan lahir tak bisa di lewati. Bidan mulai panik.

"Pak, bisa tolong bantu saya untuk menarik bayi?" Tanya bidan pada Jaka. Jaka pias. Mana sanggup ia menarik bayinya. Jaka menggeleng.
"Ibu?"
"Saya tidak sanggup Bu." Bidan semakin panik. Mama dan semua yang ada di dalam ruangan panik. Detak jantung bayi semakin melemah.

"Bu, panggil satpam!!!" Teriak bidan. Mama bingung. Panggil satpam untuk apa? Tapi mama mematuhinya dan menarik satpam untuk masuk ke dalam ruangan. Yuna dan keluarga bingung. Melihat hal itu. Tapi mereka terus berdoa.

Satpam masuk dan kaget saat di minta untuk menarik kepala bayi. Tapi demi kerjaan. Satpam pun melakukan apa yang di minta. Namun sia-sia. Bayi masih juga belum mau keluar. Akhirnya bidan menyerah. Ia menelpon dokter ahli kandungan. Dan 15 menit sang dokter datang.

Dokter kaget melihat apa yang terjadi. Mau marah tapi percuma.
"Ambil gunting dan peralatan lainnya." Bidan langsung sigap mengeluarkan semua yang di butuhkan. Sang dokter langsung menggunting bagian jalan lahir. Agar anak keluar dengan lancar. Entah berapa centi dokter menggunting. Hingga akhirnya bayi keluar dari jalan lahir. Sita tak sadarkan diri.


Akhir Sebuah HubunganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang