Bab 3

12.4K 665 6
                                    

Setelah mereka sepakat untuk menikah. Sita pun pulang ke rumah orang tuanya. Ia bersikap seperti biasa awalnya. Tak menunjukan apapun. Namun adiknya Yuna. Mengetahui gelagat anehnya.

"Mbak, ke ancol yuk," ajak Yuna
Sita menoleh ke arah Yuna. Namun Sita tak begitu menanggapi ajakan Yuna. Sita merasa sangat malas, ia hanya ingin bersantai atau kalau bisa tidur-tiduran saja. Rasa mual di perutnya sungguh mengganggu. Namun iaa tak boleh terlihat seperti itu.

Sita berusaha mati-matian bersikap senormal mungkin dihadapan orang tuanya.
"Mbak. Mau nggak?" Yuna masih tetep kekeh bertanya.
"Males ah," jawab Sita akhirnya.

Yuna nampak memandang Sita dengan pandangan aneh. Tak biasanya Sita seperti itu. Biasanya dialah yang paling semangat dalam hal berlibur.

"Mbak. Kok mbak aneh. Mbak sakit?"
Deg !

Yuna please jangan membuat aku takut dan menangis di hadapan mu Yun. Gumam Sita.

"Mbak nggak papa kok. Udah sana ah jangan ganggu mbak dulu."
"Kalau ada apa-apa jangan sungkan cerita sama Yuna mbak. Yuna memang masih SMP tapi Yuna bukan anak kecil yang bisa mbak bohongi."

"Yuna tahu mbak ada masalah, karena yang Yuna tahu Mbak nggak pernah seperti ini. Mbak yuna itu selalu ceria. Tapi yang Yuna lihat sekarang. Mbak murung dan nampak pucat juga."

Yuna udah dong. Jangan bikin aku semakin pengen nangis. Aku udah nahan ini lama loh. Aku tau kamu peduli sama mbak. Tapi nggak sekarang Yun. Nggak sekarang.

"Sok tau kamu. Udah sana ah. Mbak lagi pengen sendiri."

Yuna menghela nafas. Namun akhirnya ia pergi meninggalkan Sita di kamar sendiri.

*******

Malam harinya Sita mendekati mama dan mulai membicarakan niatnya.
"Ma," panggil Sita.
"Hm," jawab mama yang sibuk bersih-bersih rumah.
"Ma, Sita mau bicara ma."
Mama menghentikan kerjaanya dan fokus menatap Sita di sana. Yuna yang memang sedang berada tak jauh dari mereka nampak menguping.

"Ada apa, Sita?" Tanya mama lembut
Sita justru terdiam dan saling menautkan jemarinya tanda gugup.
"Aku... aku mau.... "
"Mau apa?"
"Mas Jaka besok malam mau datang kesini mah."

"Oh yaudah. Main aja ga pa-pa," ujar mama dan langsung melanjutkan kerjaanya lagi.
"Ma, tapi dia ke sini mau lamar aku mah."
Hah ! Yuna tersentak di sana.
Mama diam sejenak. Mengatur nafasnya yang sempat tersedat.

Lalu menatap Sita lembut.
"Jangan sekarang ya nak, bukan mama tak merestui. Tapi mama tak ada dana untuk kamu menikah," jelas mama resah. Dan merasa bersalah.

Sita menangis di sana membuat mama panik. Dan memeluk Sita. Yuna yang melihat itu justru malah merasa aneh. Seperti ada yang tidak beres dengan mbak nya.

"Maafin Sita ma... maafin Sita." Sita histeris di sana. Mama jadi semakin bingung. Dan melepas paksa pelukan itu. Menatap anaknya dengan tajam. Hati seorang ibu sangat peka sekali.

"Kenapa Sita? Jangan bilang kamu... jangan nak... mama... mama...."
"Maaf mama... maafin Sita...."
Sita bersimpuh di kaki mamanya sembari terisak kuat.

Yuna yang menyadari itu seketika meneteskan air matanya. Kakak yang selama ini ia banggakan. Kakak yang selama ini ia sayangi. Ia jadikan pedoman hidupnya. Telah menghancurkan imajinasi tentang kakaknya.

Yuna memilih pergi diam-diam. Ia tak sanggup bila harus melihat air mata keluarganya.

Sementara mama terdiam bagai patung. Sita yang berteriak minta maaf di sana. Tak mampu membuat mamanya tersadar. Sampai papa datang membuat Sita semakin takut. Mamanya tersadar seketika itu juga.

"Ada apa ini?" Tanya papa. Sita dan mama buru-buru menghapus air matanya.
"Pah, ini eh Sita...."
"Kenapa dengan Sita?"
Sita terdiam. Ia tak mungkin berani mengatakan hal itu pada papanya.

"Ada apa ini mah, kenapa kalian menangis seperti ini. Sita ada apa?" Papa beralih menatap Sita yang menunduk takut.

"Mbak sita meminta restu untuk menikah Pah. Besok calonnya datang melamar."

Semua nya menatap Yuna yang berdiri di depan pintu dapur. Lalu meloyor pergi setelah mengucapkan hal itu.

"Oh pacarmu mau kerumah. Lalu kenapa sampai menangis seperti ini?" Tanya papa.

"Anu...pah... Sita...."
"Untuk lamaran saja tak masalah kan. Kita bisa mencari dananya sembari jalan saja. Yang penting menikahnya jangan waktu dekat ini ya nak. Papa dan mama sedang tak ada dana untuk itu," jelas papa yang semakin membuat Sita merasa bersalah.

Mama memeluk pinggang anaknya. Menguatkan. Bagaimanapun mama tetaplah sandaran anak bukan?

"Tidak bisa lama-lama pah. Aku...." Sita mencoba memberanikan diri untuk berbicara. Karena jika ditunda lama perutnya akan semakin terlihat buncit. Ia tak mau membuat orang tuanya semakin malu.

"Kenapa Sita?" Tanya papa bingung
"Aku hamil pah." akhirnya dengan susah payah kalimat itu keluar dari bibir Sita.
Papa shock. Diam ia di sana. Tak banyak bicara, papa memilih masuk ke dalam kamar. Tanpa memandang mama ataupun Sita.

Dilewatinya begitu saja.

Papa masuk ke dalam kamar dan langsung di susul mama. Terdengar perdebatan di dalam kamar. Sita terduduk di lantai. Rasanya ia sudah gagal menjadi anak yang membanggakan.

Yuna muncul dan memeluk kakaknya. Tapi tak menangis. Hanya menenangkan.
"Semua akan baik-baik saja," ucap Yuna. "Kau hebat sudah berani mengutarakannya. Kau hebat karena mempertahankan anak itu. Setidaknya kau mau bertanggung jawab atas apa yang kau perbuat."

Sita semakin histeris dan memeluk adik tersayangnya.

*******

Malam yang ditunggu datang. Papa dan mama sudah ikhlas itu semua berkat Yuna. Adiknya itu memang punya pemikiran dewasa. Hingga mampu menyadarkan orang tuanya.

Semua manusia pasti memiliki dosa bukan. Jadi janganlah kita mengejude orang dengan pandangan kita sendiri. Karena belum tentu kita lebih baik dari orang tersebut.

Sita adalah wanita yang tangguh. Ia tak mau seperti gadis-gadis di luar sana yang berani membunuh anaknya sendiri. Ia ingin mempertahankan bayinya tanpa takut pandangan orang.

Dari pada ia harus melakukan dosa kedua. Dengan membunuh calon anaknya. Andai kakak nya melakukan hal itu mungkin Yuna sudah tak ada simpati lagi untuk kakaknya.

Biarlah mungkin ini adalah ujian dari Tuhan untuk keluarga mereka. Yang terpenting mereka mau bersatu dan saling dukung maka semua akan berjalan dengan baik.

Jaka datang seorang diri. Berani sekali dia. Gumam Yuna.
Jaka menemui papa dan mama Sita dengan kesopanan yang baik. Papa dan mama menerima baik kedatangan Jaka.

Sudahlah semua sudah terjadi bukan. Jadi untuk apa marah dan emosi. Tak ada kemarahan apapun di sana. Layaknya lamaran pada umumnya.

"Baiklah nak, bapak terima lamaranmu. Esok lusa bawalah orang tua mu kemari ya."
"Maaf pak. Mereka tak bisa karena di kampung. Mungkin mereka datang sehari sebelum pernikahan."

Papa dan mama saling pandang.
"Yasudah tak apa kalau begitu. Yang terpenting ketika menikah nanti ada walimu ya."
"Ya pak, terima kasih sebelumnya."
"Ya."

Semua berjalan lancar. Sita merasa lega. Setidaknya Jaka tak mendapat cacian dari keluarganya. Itu yang paling ia takuti.

Tinggal menunggu hari pernikahan mereka yang akan di selenggarakan secara sederhana. Satu minggu kemudian

Akhir Sebuah HubunganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang