Bab 20

9.6K 501 16
                                    

Yuna tengah sibuk dengan kerjaan nya di kantor. Ia dengan cekatan mengerjakan semua tugas dari karyawan tempatnya magang. Hingga sore menjelang. Yuna buru-buru pulang. Karena kasihan dengan sang kakak yang seorang diri di rumah.

Yuna menyetop angkutan umum dan masuk ke dalam mobil. Ia mengeluarkan ponselnya begitu mobil jalan perlahan. Ia menelpon sang kakak.
"Mbak, Lo mau beli makanan nggak?" Tanya Yuna begitu sambungan telepon terhubung.
"Oh, es krim aja? Yaudah, bentar lagi Yuna sampai rumah kok. Ia lagi di jalan." Yuna menutup teleponnya.

Dan meminta sang supir untuk berhenti. Karena rumah Yuna sudah dekat. Yuna turun dan bayar angkot. Lalu berjalan ke arah gang rumahnya. Ia berjalan dengan lebih cepat dan berhenti di toko es krim. Membeli beberapa es krim. Karena Minggu lalu, saat kakak nya periksa. Dede dalam perut sang kakak terlalu kecil ukurannya. Dan dokter menganjurkan untuk makan es krim.

Karena usia kandungan Sita yang sudah 8 bulan lebih. Kasihan kalau sampai kurang berat badannya. Bisa-bisa masuk inkubator. Dan sekeluarga tidak mau itu terjadi. Maka dari itu, Yuna hari ini gajian. Ia langsung menawarkan kepada Sita mau beli makanan apa.

Setelah selesai membeli es krim. Yuna berjalan pulang. Tanpa tengak-tengok. Biar sampai rumah lebih cepat.
"Yuna, cepet amat jalannya? Pengen boker ya?" Goda remaja pria seumurannya. Yuna menoleh dan mengangkat tinju nya. Mereka tertawa.
Yuna tak begitu peduli yang terpenting adalah ia sampai dengan cepat di rumah. Kasihan sang kakak. Pasti kesepian.

Yuna mengetuk pintu perlahan dan masuk ke dalam tanpa melepas sepatu. Begitu masuk ia melepas sepatu dengan asal dan melempar kaos kaki kesembarang arah. Sita yang melihat itu langsung marah. Di tambah bau kaki Yuna yang naujubillah himindzalik.

"Yuna!!" Teriak Sita. Yuna tersentak kaget.
"Apaan sih mbak?" Tanya Yuna. "Bikin kaget aja tau." Yuna duduk di sofa dengan kaki naik ke atas. Ia meletakkan es krim itu di meja.
"Tuh es krimnya."
"Lo bisa nggak sih, cuci kaki dulu. Itu sepatu taro kek yang bener. Jangan kaya gitu sih, bikin mual aja ."
"Iya...iya...bawel ih." Yuna dengan malas bangun dari duduknya dan merapihkan sepatunya. Yuna mengangkat sepatunya sembari tutup hidung. Karena sepatu itu sudah berbulan-bulan tidak ia cuci. Kaos kaki? Jangan di tanya kapan terakhir nyuci.
Warnanya sampai hitam pekat di bawah telapak. Hahahaha

Sita nggak habis pikir sama adiknya itu. Cewek tapi jorok sekali.

🍁🍁🍁

Sita kembali melihat tingkah adiknya yang membuat kamar berantakan dengan komik koleksi adiknya yang bertebaran di mana-mana. Sita sampai hela nafas.
"Yuna, emang kalau baca komik harus di berantakin gini ya?" Tanya Sita. Yuna menoleh sekilas dan kembali acuh lagi.

"Yuna, denger Mbak nggak sih?"
"Apa sih mbak? Tiap hari juga Yuna kaya gini kok, kalau udah selesai juga Yuna beresin sendiri. Mama aja nggak pernah marah kali." Yuna bangun dari tidurannya dan bersandar di kepala ranjang. Kembali fokus membaca komik romantis nya.

Sita memunguti komik-komik itu. Dan menaruhnya di dalam dus.
"Kok di taro di dus sih?" Tanya Yuna bingung.
"Mau mbak kiloin."
"Nggak usah becanda deh mbak."
"Mbak nggak bercanda." Yuna tersentak dan langsung turun dari ranjang. Merebut kardus itu dari tangan sang kakak.

"Apa maksudnya mau jual komik gue?" Yuna mulai marah. Karena komik nya di usik.
"Yuna, kamu itu udah gede. Mau sampai kapan kamu koleksi komik. Lihat sebanyak ini kalau di jual berapa ratus ribu kamu dapet?"
"Salah, berapa juta aku dapet harusnya. Tapi ini hak aku. Ini koleksi ku. Kenapa kamu ikut campur sih?"

Sita kembali merebut dus itu. "Nah itu kamu tau, kamu udah ngeluarin uang segitu banyak dengan sia-sia. Nggak ada gunanya kan. Di makan juga enggak bisa kan?"
"Maksudnya apa sih mbak ngomong gitu? "
"Yun, mending komik ini kamu jual deh, dari pada menuh-menuhin tempat. Dan mending kamu tabung uang kamu, udah jangan beli komik lagi."

Yuna kembali merebut dus itu dan membantingnya kasar. "cukup ya mbak? Sia-sia kata mbak? Mbak ini hobby aku, aku beli juga nggak pake nyusahin mama kok. Aku nabung sendiri. Enggak asal minta sama mama. Selama ini mama juga biasa aja tuh. Enggak komen aneh-aneh kaya mbak. Kenapa mbak usik hobby aku? Aku juga nggak minta uang mbak untuk beli komik."

"Susah banget sih kamu di bilanginnya."
"Karena aku nggak butuh di bilangin Sam mbak, kalau maksud mbak cuma mau buang komik aku!!" Sita keluar dari dalam kamar dan membanting pintu.

"Ngeselin banget sih," Gumam Sita.
Sita duduk dan menenangkan dirinya. Ia mengusap perutnya. Dan kembali merapihkan komik-komik yang berserakan.

Akhir Sebuah HubunganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang