Seminggu sudah Heri menunggu keputusan Sita. Karena tak juga mendapat keputusan, Heri mengambil langkah ekstrim. Yaitu ia ingin langsung bertemu orang tua Sita.
Yah setidaknya bermain ke rumahnya. Bersilahturahmi lebih tepatnya. Tentu saja ia akan bersama dengan bang Jogi dan yang lainnya. Agar tidak canggung.
Dan bang Jogi membuat rencana itu berhasil. Esok ia akan datang ke rumah Sita bersama yang lain. Jantung Heri begitu berdebar-debar. Ia sampai bingung harus memakai pakaian seperti apa?
Tapi, sebagai laki-laki simple ia hanya menjatuhkan pilihan pada kaos putih polos dan celana jeans.
Ia menghela nafas berharap semua berjalan lancar. Ini hanya silaturahmi bukan lamaran sungguhan. Padahal ia pernah mengalami hal ini, kenapa masih saja gugup seperti ini?
Tapi berkat bang Jigo. Heri mampu melawan rasa gugupnya.
Sementara Sita yang memang sudah mengatakan kepada orang tuanya jika akan kedatangan teman membuat orang tuanya membuatkan masakan.
Orang tua Sita hanya berfikir jika yang datang benar-benar hanya sekedar teman.
Namun, ketika rombongan Heri datang sang ibu heran. Sebab tak ada teman perempuan sama sekali. Sita pun menjelaskan dan sang ibu paham.
Sita menemani mereka mengobrol dan bercanda. Heri bersyukur sebab ada bang Jogi jika tidak mereka tak akan bisa sesantai sekarang.
Sesekali Heri akan melirik Sita yang selalu tertawa itu. Ia nampak berbeda karena tawanya begitu indah di mata Heri.
Andai tawa itu ditujukan untuk dirinya. Heri tersentak saat tiba-tiba Sita menatapnya lalu tertawa lumayan keras.
Apa yang salah? Pikirnya.
Tapi semuanya memang tengah tertawa, seolah menertawakan Heri. Sial, Heri jadi salah tingkah.
Syukurlah adzan terdengar membuatnya ada alasan untuk meninggalkan mereka.
Dengan diantar Sita, Heri sholat di mushola. Sita tertegun, sebab mantan suaminya tak pernah sekalipun menunaikan ibadah.Apakah Heri akan membimbingnya kelak?
Ia juga tak sangka jika Heri rajin ibadah. Ia baru melihatnya sekarang.
Sita kembali pada yang lain, mengobrol lagi dengan serius kali ini. Sebab apa yang menjadi tujuan Heri disampaikan oleh Jogi di sini.
"Apa yang kamu ragukan dari keseriusannya, Ta?" tanyanya. Sita tersenyum kecil.
"Nggak ada," jawab Sita.
"Kalau tidak ada, apa lagi yang kamu tunggu?"
"Keberanian, Bang." Sita menunduk. Seolah ia wanita paling pengecut di dunia. Ia menarik nafas panjang dan menatap teman-teman.
"Apa kalian bisa menjamin kebahagiaanku jika aku bersama dengan Heri? Apa aku akan nyaman bersamanya yang bahkan belum benar-benar aku sayang? Aku takut, takut akan perceraian lagi."
Jogi mengusap pundak Sita. Kini ia paham yang Sita alami tak mudah. Salah memang jika mereka terlalu memasakkan kehendaknya.
"Kami minta maaf soal ini, Ta. Kami tidak tau bagaimana pernikahan mu selama ini. Kami hanya tau kamu bercerai tanpa mau tau sebab nya apa. Hanya saja kami tau seperti apa sahabat kami, mungkin, Tuhan sudah menentukan kalian sebagai pasangan. Terbukti dari Heri yang setia mencintaimu walau berusaha mencintai istrinya. Tapi Tuhan berkata lain. Sebab Heri bercerai sebelum kamu."
"Tidak ada laki-laki yang sesetia Heri, Ta. Dari situ saja kamu bisa ambil kesimpulan jika Heri adalah laki-laki bertanggung jawab dan sangat mencintaimu."
Sita kembali bimbang.
Mereka akhirnya pulang, benar-benar hanya seperti teman yang bermain saja. Tak ada percakapan tentang lamaran atau berkenalan yang berlebihan pada orang tua Sita. Kebetulan di rumah memang hanya ada mama Sita saja.
Sepulangnya mereka Sita ditarik oleh sang mama. Mereka duduk berhadapan.
"Yang mana calonmu?" Begitu mama bertanya secara tiba-tiba.
"Calon apa?"
"Laki-laki yang menyukaimu?"
Sita tersenyum lalu memberitahukan ciri-ciri Heri.
"Mama setuju!" Sita tersentak.
"Setuju apa?"
"Kamu menikah dengannya."
"Mama kan baru lihat kok yakin sih?"
"Jangan ragukan penglihatan orang tua."
"Aku nggak tau, Mah."
"Jangan ragu. Percayalah." Sita semakin bimbang dalam hatinya.
Begitu ia pulang ke kosan, ia curhat pada adiknya Yuna. Dan tanpa disangka. Yuna juga mengatakan jika ia harus membuka hati untuk Heri.
Menurut Yuna, cinta itu bisa menyusul ketika kita terbiasa. Yang utama adalah rasa nyaman. Ya, Sita merasakan nyaman saat bersama Heri.
Haruskah ia terima perasaan Heri?

KAMU SEDANG MEMBACA
Akhir Sebuah Hubungan
RomansaSita Narendra adalah seorang istri yang sabar dan selalu bisa memaafkan suaminya. namun sifat labil suaminya lah yang membuat dirinya hancur. rumah tangga yang ia jalani selama 9 tahun. tak mampu membuat sang suami berubah menjadi lebih baik. hingg...