Seminggu setelah Sita ke rumah orang tuanya. Akhirnya ia memberanikan diri untuk mengatakan pada Jaka jika orang tuanya ingin ia menyampaikan itu sendiri.
Jaka nampak tersentak kaget, ia belum siap. Sita yang mendengar itu langsung mencaci maki Jaka sampai akhirnya Jaka menyerah.
Saat libur kerja Jaka dan Sita pergi ke rumah orangtuanya. Dalam hati Jaka ia sangat ketakutan, tapi, ada keberanian yang muncul akibat tekadnya untuk bercerai.
Ia sudah lelah menjalani pernikahan yang tak ada kemajuan itu. Setiap hari mendapat omelan karena pulang larut, padahal ia hanya main dengan teman.
Masalah sabun saja dipermasalahkan. Dan yang paling Jaka tidak suka adalah masalah uang.
Jaka dan Sita kan sama-sama bekerja, sama-sama memiliki penghasilan, kenapa hal itu harus diributkan?
Pakailah uang masing-masing, beli apa yang disuka tanpa perlu mengomentari. Jaka dulu berharap saat menikah ia akan hidup lebih baik, lebih bahagia karena ada yang selalu memperhatikan nya.
Merawatnya, memanjakannya. Tapi bukan mengomeli saat ia pergi main bersama teman. Ia merasa sangat terbatas ruang geraknya, kalau ada anak mungkin saja ia tak akan keluyuran.
Tapikan rumah sepi, tak ada anak. Ia bosan jika hanya berdua saja di rumah. Libur hanya ke rumah orang tua, atau pergi nonton, atau makan.
Hanya itu saja, tidak ada kemajuan. Hamil anak kedua Jaka sudah senang, ia bahkan menabung dan menyisikan uangnya untuk membeli perlengkapan bayi.
Tapi semua itu sia-sia karena anaknya lagi-lagi tak hidup. Ia sudah lelah dengan pernikahan yang tak membuatnya bahagia.
Ia akui ia sempat memanfaatkan Sita untuk kembali tinggal di kota. Itu karena bisnis di kampung gulung tikar, di sana sepi dan hanya menghabiskan uang saja.
Orang tuanya langsung marah karena Jaka tak menghasilkan uang. Sesak dengan itu ia memilih untuk pergi kembali ke kota.
Bekerja di sana tanpa ada yang mengatur. Tapi, ia juga tak mau banyak mengeluarkan uang.
Satu-satunya cara adalah memanfaatkan kebaikan Sita yang tak akan pernah berhenti menolongnya.
Tebakannya benar, Sita benar-benar menerimanya dan bahkan memanjakannya dengan belanja kebutuhan untuk bekerja. Bukankah Jaka sangat beruntung?
Sebenarnya Jaka juga mencoba untuk kembali bersatu dengan Sita tapi mendengar Sita menginginkan seorang anak membuat Jaka langsung muak.
Ia sudah tidak mau memiliki anak karena menurutnya hanya membuatnya hilang harapan saja.
****
Ia sampai di rumah orang tua Sita. Mereka nampak canggung tak terkecuali Yuna yang biasanya sangat akrab pada Jaka.
Tapi kali ini suasana nampak sangat berbeda hanya suami Yuna saja yang mau menyapa Jaka lebih dulu.
Waktu terus berlalu, basi-basi sudah benar-benar basi. Dan kali ini waktunya untuk Jaka berkata sejujurnya untuk menceraikan Sita.
Mereka duduk di ruang tamu dengan kondisi tegang, suram dan tak ada senyum.
Sita tak ikut bergabung karena ia harus menidurkan anaknya. Suaminya juga tak mau ikut campur karena menurutnya itu bukan haknya. Ia hanya sekedar menantu.
Hingga yang di ruang tamu hanya Sita, Jaka, dan kedua orang Sita.
Mereka saling diam seolah ingin menatap pertanyaan dan menahan setiap emosi.
"Mulailah, ceritakan apa niatanmu malam ini." Papa membuka percakapan. Sita diusap punggungnya oleh Mama.
"Sebelumnya Jaka ingin meminta maaf pada Papa dan Mama. Bagaimanapun Jaka berterima kasih karena sudah menyayangi Jaka seperti anak sendiri."
"Di sini, Jaka tidak bisa banyak mengatakan hal-hal yang membuat Jaka memutuskan berpisah dengan Sita. Tidak ada yang salah dalam hubungan kami, hanya saja rasanya kami kurang cocok setelah lama bersama. Tidak nampak ada perkembangan apapun di dalamnya dan Jaka mulai jenuh."
"Kamu ingin cerai dengan alasan itu?" tanya Papa. Jaka mengangguk. Karena sebenarnya ia tak memiliki alasan jelas kenapa ia ingin cerai dari Sita.
"Bagus, cerailah, Papa setuju." Jaka dan yang lainnya tercengang mendengar hal itu. Semudah itu seorang Papa mengijinkan anaknya bercerai?
"Mas, nggak dicoba nasehati dulu," ujar Mama.
"Nggak usah, Mah. Mereka sudah dewasa. Tau mana yang harus diambil keputusannya. Dan setelah Jaka memberikan penjelasannya tadi Papa langsung yakin kalau selama ini Sita salah memilih suami."
Jaka tersentak mendengar itu.
"Pah ...."
"Sudah Jaka. Papa tidak kecewa dengan kalian, hanya memang ini sudah jalannya. Mungkin itu pulalah mengapa kalian tak diberi kepercayaan memiliki seorang anak. Ketidakdewasaan kalian, keegoisan kalian membuat Allah saja ragu dengan kalian berdua. Dan benar saja, inilah jawabannya. Perpisahan. Akhir dari sebuah hubungan."
Semua terdiam mendengar itu tak ada yang berani membantahnya. Mereka tau jika Papa sangatlah kecewa pada keputusan anak-anaknya.
Sita menahan diri untuk tidak menangis. Dulu, ia meminta ijin untuk menikah karena hamil duluan, sekarang ia meminta ijin untuk berpisah karena sudah tak cocok lagi.
Sungguh bagaimana hati orang tuanya selama ini dibuat kecewa oleh anak yang selalu diharap bisa membahagiakan orang tua.
Tuhan, ijinkan Sita membahagiakan orang tua walau mungkin bukan dengan cara pernikahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akhir Sebuah Hubungan
RomanceSita Narendra adalah seorang istri yang sabar dan selalu bisa memaafkan suaminya. namun sifat labil suaminya lah yang membuat dirinya hancur. rumah tangga yang ia jalani selama 9 tahun. tak mampu membuat sang suami berubah menjadi lebih baik. hingg...