Bab 14

6.9K 453 6
                                    

Sita termenung di kamar Yuna. Saat mendengar Yuna tidak akan lanjut sekolah setelah lulus SMP. Sita tidak mau, sampai Yuna harus bernasib sepertinya dulu. Ia harus membuat adiknya masuk SMA. Ia harus membujuk adik dan orang tuanya.

Sita keluar dari kamar dan ikut gabung di ruang tamu. Mereka semua saling diam. Tak ada satupun yang berbicara. Hingga akhirnya Sita memberanikan diri untuk membuka suara.
"Lulus SMP mau lanjut kemana?" Tanya Sita. Yuna melirik Sita. Lalu kembali diam.
"Yun, mbak tanya."
"Aku mau langsung kerja, mbak," jawab Yuna. Membuat mama dan papa merana.

"Ma, pa, emang kalian enggak bisa bujuk Yuna untuk terus sekolah?" Tanya Sita. Orang tuanya diam. Sita tak suka melihat kediaman kedua orang tuanya. "sebenarnya ada apa sih?"
Yuna menatap sita. Ia menarik lengan Sita dan masuk ke dalam kamar. Sita duduk di ranjang. Sementara Yuna melihat ke luar jendela.

"Yun..."
"Kak, papa di pecat dari kerjaannya. Mama dan papa udah enggak punya biaya buat aku lanjut sekolah. Baik negri maupun swasta itu biayanya mahal kak." Yuna terdiam. Sita terkejut bukan main. Pasal nya sita tidak pernah tahu masalah itu.
"Sejak kapan dek?" Tanya Sita.
"Dua bulan lalu." Sita kembali diam. Tapi hatinya tidak terima kalau adiknya hanya sampai SMP saja. Setidaknya harus lulus SMA minimal. Kalau lulus SMP di jaman seperti sekarang. Mau kerja apa Yuna?

Sita keluar dari kamar dan menemui kedua orang tuanya.
"Ma, pa, sita enggak mau tau. Yuna harus tetap lanjut sekolah. Mau jadi apa Yuna, kalau cuma lulusan SMP?"
"Mama dan papa tidak punya biaya, Ta." Mama terlihat sedih dan hampir menangis. Sita langsung memeluk sang mama.
"Sita akan bantu biayanya."
"Jangan, Ta. Kamu sudah menikah. Jangan ikut campur masalah ini. Apalagi masalah uang. Jangan nak."
"Aku enggak peduli. Pokoknya Yuna harus lanjut sekolah. Aku enggak mau kalau Yuna sampai berhenti sekolah. Titik!!"

"Lo jangan egois!!" Bentak Yuna dari dalam kamar. Ia sudah menangis. Sita menatap Yuna tajam.
"Lo, yang egois bego!! Kalau Lo sampai berhenti sekolah, mau jadi apa Lo? Jadi beban orang tua doang nanti. Mau Lo jadi beban orang tua seumur hidup!!"
"Sita, Yuna. Udah, cukup!!" Papa berteriak. Papa bahkan sampai duduk di bawah. Tak kuasa menahan luka di hatinya. Karena ini semua adalah salahnya. Sebagai seorang kepala rumah tangga. Ia tak mampu memberikan nafkah yang cukup untuk keluarganya.

"Papa." Yuna berlari dan memeluk sang papa.
"Maafin Yuna, pa."
"Bukan salah kamu, ini semua salah papa. Papa yang tidak bisa membiayai sekolah kamu."
"Yuna enggak apa-apa kok pa, Yuna bisa kerja nanti."

"Kerja apaan Lo? Modal ijasah SMP. Iya kalau nilai Lo bagus?" Tanya Sita sinis.
"Cukup, mbak!! Ini hidup aku, jalan aku. Nggak usah ikut campur!" Bentak Yuna. Ia menghapus air matanya dengan kasar.

"Mama akan jual tanah di kampung."
Semuanya langsung menatap mama.
"Ma, tapi itu kan warisan mama satu-satunya." Papa merasa tak enak kalau sampai mama menjual tanah warisan satu-satunya dari kakek.
"Untuk apa punya tanah, kalau anak mama saja tidak bisa lanjut sekolah?" Yuna menangis histeris. Ia merasa bagai beban di keluarga ini.

Mama dan papa memeluk Yuna. Sita pun ikut di dalamnya.
"Kamu harus lanjut dek, demi masa depan kamu. Mbak akan bantu sebisa mbak, ya." Yuna akhirnya mengangguk.

🍁🍁🍁

Saat kembali bekerja. Perut Sita merasa tak enak. Ia berlari ke kamar mandi. Dan langsung muntah di sana. Cairan kuning. Membuat tenggorokannya sakit dan pahit. Sita kumur-kumur dan muntah lagi.

Sita menghubungi Jaka untuk menjemputnya nanti malam. Sepertinya ia tidak sanggup jika harus pulang seorang diri.
"Mbak, kenapa? Sakit?" Tanya shanty.
"Enggak tau nih, perutku mual terus."
"Masuk angin kali ya mbak, soalnya kan mbak pulang malem terus seminggu ini?"
"Mungkin."
"Mau aku beliin tolak angin, mbak?"
"Boleh deh, maaf ya ngerepotin."
"Santai, mbak."

Shanty pun pergi keluar dan membeli tolak angin untuk Sita. Sementara Sita. Masuk kebagian dapur. Untuk membuat teh hangat.
"Kenapa neng?" Tanya Bu Sri.
"Masuk angin, Bu."
"Udah minum obat?"
"Lagi dibeliiin sama, Shanty." Bu Sri mengangguk dan melanjutkan menggoreng pisang.

"Ambil pisang tuh neng, buat ganjel perut."
"Ia Bu, makasih." Sita mengambil pisang. Tapi begitu mencium aromanya. Sita langsung mual dan buru-buru mengambil plastik dagangan. Muntah ia di sana. Bu Sri memperhatikan Sita.
"Coba neng, pulang kerja kamu beli testpack." Sita diam. Testpack? Apa aku hamil?

Sita mengusap perutnya. Semoga saja ya Allah.

Akhir Sebuah HubunganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang