Bab 34

1.6K 213 23
                                    


Hancur berkeping-keping, kecewa yang teramat dalam, terasa dikhianati. Hilang sudah rasa cinta itu, hilang sudah rasa percaya itu. Kini, rumah tangganya benar-benar telah runtuh.

Laki-laki yang dulu ia cintai kini telah meremukkan hatinya begitu dalam. Menusuknya begitu kejam.

Pengorbanannya, kesetiaannya, tak ada artinya bagi Jaka. Apakah ia tak berarti di hati Jaka selama ini?

Apakah tak ada belas kasih setelah apa yang Sita lakukan beberapa bulan terakhir?

Apakah sebenarnya ia hanya dimanfaatkan Jaka kala ia hendak kembali bekerja di kota?

Mendapatkan tempat tinggal, mendapatkan pakaian baru, mendapatkan ongkos kerja, mendapatkan motor, mendapatkan semua yang Sita punya.

Dan Jaka hanya memberikan luka. Sita tersenyum dalam kesedihan, ia hampir saja gila.

Ia bahkan tak bisa makan dan minum, tak bisa lagi membohongi perasaannya.

Baik di rumah maupun di tempat kerja. Ia tetap menatap kosong.

Ia tak sadar ada sosok yang terus mengamatinya, memperhatikannya, tapi hati Sita tak tersentuh hingga ia tak tau siapa sosok itu.

Sita bukan lagi Sita yang ceria. Ia murung, dalam situasi apapun. Ia menyadari betapa bodohnya ia selama ini.

Menikah hanya untuk dimanfaatkan. Kejam, pembohong dan licik adalah sebutan baru untuk Jaka.

Kini, hati Sita yang selalu penuh dengan kelembutan berubah menjadi pemarah dan pendendam. Ia benci Jaka!

Satu minggu sudah Sita menangisi kebodohannya yang terlambat. Tapi, bagi Sita itu lebih baik daripada ia harus bodoh sampai akhir hidupnya.

Ia memakai make-up untuk menutup wajah sembabnya. Ini hari libur, dan ia bersiap untuk membungkus semua pakaian dan juga barang milik Jaka yang masih tertinggal.

Ia bahkan sudah tak peduli di mana Jaka tinggal setelah seminggu meminta cerai. Ia tak memberi kabar sekalipun dan Sita lebih senang.

Pagi itu Sita selesai mengemasi pakaian Jaka, tak ada yang tersisa satupun.

Ternyata tebakannya benar, Jaka kembali untuk mengambil barang-barangnya.

Ia nampak tersentak melihat Sita sudah merapihkan semuanya tanpa air mata kesedihan.

Ya, Sita tak lagi menunjukkan wajah sedih, ia memasang wajah datar, tak tersenyum tak juga bersedih.

"Sita ...." Jaka mengurungkan niatnya untuk bicara.

"Ambilah dan pergi." Hanya itu yang Sita katakan.

"Kamu mau ke mana?" tanya Jaka yang heran melihat Sita sudah rapih.

"Masih peduli?" sindir Sita yang langsung pergi begitu saja meninggalkan kunci kos nya.

Jaka terduduk di lantai kamar. Melihat kamar yang rapih tanpa barang-barangnya. Ia tertunduk, merasa ada yang salah dengan semua ini.

****

Jaka tersentak kaget saat ia membuka mata. Ia melihat jam di tangannya. Jam yang Sita belikan untuknya dulu.

Ia melihat sekeliling kamar, sudah sore tapi Sita belum pulang juga. Ia meraih ponselnya hendak menelpon tapi buru-buru ia urungkan.

"Untuk apa aku jadi peduli padanya?" desahnya kesal. Ia bangun dan mengambil tas berisi barang-barangnya.

Ia kembali mendesah kesal karena Sita masih saja perhatian padanya, setidaknya biarkan ia membereskan pakaiannya sendiri. Kenapa sih ia harus selalu peduli, padahal Jaka sudah menceraikannya.

Jaka menjambak rambutnya karena kesal dengan hatinya yang mulai menyesal menceraikan Sita.

"Jangan goyah, Jaka!!!" geramnya. Ia bergegas membawa tas dan pergi darisana.


Akhir Sebuah HubunganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang