YOUNG : 38

1.4K 99 31
                                    

Happy reading guys

Tandai typo ya✨

Hujan tak henti-henti turun dengan sangat deras, bulir-bulir air hujan dengan ganas menimpa apapun yang ada dibawahnya. Pemakaman yang dilakukan siang tadi sudah selesai, orang-orang yang datang sudah pulang sejak rintik hujan turun, kecuali Bram yang masih berdiri terpaku menatap nisan yang bertuliskan nama Lala sang istri. Bram masih tak percaya jika ini semua bukan mimpi, tapi ini kenyataan yang harus dia terima detik ini juga.

Tak peduli dinginnya air hujan dan angin yang berhembus menembus kulitnya. Tatapan mata kosong itu, kaki yang melemas hingga membuat dirinya terduduk diatas tanah basah.

"Pulang! Abhi masih butuh lo dirumah, jangan bodoh jadi orang."

Lucas memayungi Bram yang duduk diatas tanah. Walau sia-sia juga karena Bram sudah basah kuyup.

"Gue masih pengen disini, lo pulang duluan juga nggak papa," sahut Bram yang suaranya teredam suara air hujan.

"Jangan egois Bram. Abhi masih butuh lo, Abhi masih sakit dan lo juga jangan nyari penyakit."

"Kalo lo lo sakit, siapa yang bakalan urus kalian berdua?"

"Kalau gue sih ogah ngurus lo yang sakit," lanjut Lucas.

"Kan masih ada Lala yang bakalan ngurus gue sama Abhi, jadi lo enggak perlu repot-repot," sahut Bram.

"Bram,"

"Ah iya gue lupa, Lala kan udah tidur dengan tenang. Jadi dia udah enggak bisa ngurus gue sama Abhi lagi kayak dulu, enggak ada yang bakalan ngomel kalo gue sama Abhi bangun tengah malem terus bikin mie kayak kemarin. Enggak ada yang teriak-teriak kalo Abhi gue jailin, semuanya bakalan berubah mulai hari ini."

"Iklhas Bram, jangan larut kayak gini. Lala juga pasti enggak seneng lihat lo terpuruk kek gini. Diatas sana Lala pasti jagain lo sama Abhi, dia pasti bakalan seneng kalo lo mau bangkit dari keterpurukan lo,"

"Ngeiklhasin Lala yang ternyata udah pulang duluan itu enggak semudah bibir berucap Cas. Bibir gue bisa bilang kalo gue iklhas sama kepulangan Lala, tapi hati gue enggak Cas. Masih ada rasa sakit yang menjalar tanpa tahu bagaimana gue harus meredakannya," sahut Bram narnar.

Lucas merasakan ponselnya bergetar sejenak tanda pesan masuk, melihat siapa pengirimnya. Ternyata Om Ares yang mengiriminya pesan, "Pulang,anak lo nangis enggak berhenti sejak tadi. Kalau bukan lo, siapa yang bakalan nenangin Abhi?" ujar Lucas

"Lo bisa kesini lagi, entah mau setiap hari lo kesini enggak ada yang bakalan larang. Tapi saat ini, pikirin dulu Abhi."  lanjut Lucas.

Bram mengusap wajah dan rambutnya yang basah sebelum bangkit dari duduknya. Sebelum benar-benar pergi, Bram mengecup pelan nisan Lala.

"Aku pulang ya, kamu tidur yang tenang. Aku bakalan kesini lagi sama Abhi buat jenguk kamu."

Dengan berat hati Bram melangkahkan kakinya keluar dari area pemakaman bersama dengan Lucas yang berjalan didepannya. Sebelum benar-benar keluar, Bram menoleh sekejap dan tersenyum.

Sampai dirumah Bram disuguhkan dengan suara tangisan Abhi yang sangat kencang. Bram dengan tergesa-gesa mendekat kearah Papa Ares yang terus berusaha menenangkan Abhi.

"Abhi biar sama aku aja Pa," ujar Bram hendak mengambil alih Abhi.

"Ganti baju dulu, kamu mau Abhi tambah demam setelah digendong sama kamu yang basah kayak gini?" tanya Ares

"Oke, Bram ganti dulu. Papa usaha yang keras aja buat nenangin Abhi, soalnya Abhi kalo udah nangis susah buat dibujuk kecuali sama Lala," ujar Bram tanpa sadar menyebut nama Lala. Bram segera berlalu menuju kamar berganti pakaian.

"La, mulai hari ini aku akan menjadi sosok ayah sekaligus ibu buat Abhi. Tolong bantu aku ya, aku tahu kamu pasti ada disekitar aku sama Abhi. Walau aku enggak bisa ngelihat kamu seperti dulu,"

"Semoga aku bisa ya."

Bram menuruni anak tangga dengan sedikit cepat, suara tangisan Abhi bukannya mereda malah semakin menjadi-jadi. Bram khawatir sama Abhi, tidak biasanya anaknya itu menangis keras seperti sekarang.

"Abhi sayang, ini Ayah nak. Udah ya nangisnya, bilang sama Ayah kamu diapain sama kakek. Biar ayah yang hukum kakek karena udah nakalin kamu,"

"Loh kok jadi Papa?" tanya Ares yang kebingungan, kenapa jadi dirinya yang dibilang nakalin cucunya yang ada mah Abhi dia sayang-sayang.

"Udah Papa diem jangan banyak protes," ujar Bram, dia terus menenangkan Abhi. Walau sudah agak mendingan tapi tangisnya belum mereda sepenuhnya.

"Abhi mau susu enggak atau Abhi mau makan?" tanya Bram sembari mengusap air mata Abhi yang meleleh pada pipi tembamnya.

Abhi menggeleng dan terus saja menangis, Bram tak menyerah. Dia mendekatkan Abhi kearah dinding yang terpajang foto Lala yang mengenakan dress putih selutut.

"Lihat Bunda, Abhi nakal. Dia nangis enggak ma berhenti, ayo marahin kayak dulu kalo Abhi rewel." Bram menahan air matanya saat berbicara didepan foto istrinya. Tangis Abhi mulai mereda sesaat Bram berbicara, Abhi bergumam kecil yang masih dapat didengar oleh Bram.

"Da...da," celoteh Abhi yang malah membuat Bram tak dapat menahan air matanya untuk turun.

"Kamu denger La, Abhi manggil kamu Bunda. Ini kan yang kamu mau selama ini, denger Abhi manggil kamu dengan sebutan bunda walau dengan suara yang belum begitu jelas."

***

"

Gue enggak tahu harus bersedih atau berbahagia atas kematian lo, La."

"Kalo bersedih sih kayaknya enggak mungkin, gue juga bukan siapa-siapa lo jadi buat apa gue harus merasa sedih kehilangan lo. Kalo berbahagia ya gue sangat bahagia saat ini La, dendam yang selama 10 tahun gue pendam untuk keluarga lo akhirnya terbalaskan La."

"Rasa sakit yang gue rasain sewaktu kecil akan gue balaskan ke anak lo La, dia harus ngerasain gimana gue harus kehilangan Mama gue dan disalahkan atas kematiannya."

"Gue cuma bisa berandai waktu itu La, andai aja Papa lo mau ngebawa Mama gue yang udah sekarat ke rumah sakit, ini semua enggak bakalan terjadi. Mama gue selamat dan dendam ini enggak bakalan ada, tapi Papa lo cuma ninggalin kartu nama dan menelponkan ambulans, asal lo tahu Mama gue meninggal saat perjalanan ke rumah sakit bangsat!"

"Disaat itu juga tatapan marah dan tatapan menyudutkan terarah ke gue yang saat itu berumur 9 tahun. Mereka menyalahkan gue, mereka menganggap gue anak pembawa sial karena kematian Mama terjadi saat nganter gue ke sekolah."

"Sakit La, gue harus menahan cacian dan hinaan dari kecil sampai gue segede sekarang. Semua orang masih menyalahkan gue padahal kematian Mama sudah lama. Kalaupun Mama gue enggak bisa hidup lagi, seenggaknya dendam gue udah terbalaskan La."

Mengusap air mata yang keluar dan mengatur emosinya, perempuan itu lantas meninggalkan makam Lala setelah meluapkan semua emosinya yang telah lama dia pendam tanpa tahu pada siapa dia harus melupakannya. Melangkah pergi meninggalkan area pemakaman dengan rasa dendam yang sebenarnya belum menghilang semuanya. Perempuan itu berpikir, dia harus membalaskan rasa sakit yang dia terima dulu kepada anak Lala. Rasa sakit yang sama harus dirasakan oleh anak Lala.

"Lama banget lo. Lihat nih tangan gue merah-merah digigit nyamuk," dumel seorang laki-laki sembari menggaruk tangannya yang memerah

"Sorry, gue udah selesai. Kita pulang sekarang," kata perempuan itu lalu naik ke atas motor.

"Lo ke makam siapa sih sebenernya, kalo ke makam Mama lo itu enggak mungkin karena gue tahu dimana pemakaman nyokap lo yang pastinya bukan disitu," tanya lelaki itu setelah berhenti karena lampu merah.

"Makam temen gue, baru kemarin dimakamin," sahut perempuan itu.

"Temen yang mana? Emang lo punya temen?" tanya lelaki itu meledek.

"Dih ngeselin lo, gini-gini gue punya temen ya. Walau dikit ya nggak papa,"

Young Parent'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang