XII

248 41 35
                                    

Taeju ikut menyusul Mujin setelah melihat keadaan Mujin yang panik, ia lalu mendapati Mujin pingsan dikamarnya dan segera menelepon Prof. Park untuk datang memeriksa keadaannya.

Prof. Park mengatakan Mujin sangat kelelahan, stres dan pola makan yang tidak teratur ditambah Jiwoo yang meninggalkannya memperparah keadaannya.

Beberapa jam kemudian Mujin tiba-tiba tersentak terbangun, matanya terbelalak besar, ia bangun dan merasakan kepalanya yang berdenyut sakit. Dadanya terasa kembali sesak. Ia melihat jarum infus menancap di punggung tangannya. Ia mencabut kasar jarum itu dan beranjak dari kasurnya dengan sempoyongan.

Ia berjalan keluar dari kamar, melihat sekeliling ruangan penthousenya. Taeju sedang duduk dengan kepala terantuk-antuk.

Taeju tersadar dan terkejut saat melihat Mujin yang berdiri dihadapannya, Mujin terlihat sangat berantakan, wajah pucat, rambutnya , mata sembab.

"Sajangnim.." panggil Taeju melihat Mujin dengan khawatir.

Mujin tidak menggubris Taeju, ia berjalan kembali ke kamarnya dan duduk di kasur. Ia melihat barang yang ditinggalkan Jiwoo, dengan nafas terengah ia meraih kotak cincin itu dan membukanya, benar cincin pernikahannya dengan Jiwoo, cincin itu terjepit rapi di kotak itu.

Ia kembali mengambil kertas itu dengan tangan gemetar. Mata sembab nya pelan-pelan membaca tulisan rapi itu, belum mulai membaca airmata Mujin sudah menetes dikertas itu.

"Mujin-a.. suamiku yang terbaik. Maaf, lagi-lagi aku mengingkari janjiku untuk tidak meninggalkanmu, kau harus membenci wanita jahat yang selalu mengingkari janji ini. Tidak ada kata lain selain maaf yang bisa kuucapkan.

Amplop itu, kau bisa menggunakan isinya saat kau sudah bisa menerima semua ini, aku yakin orang hebat sepertimu dan mempunyai pengacara yang berkuasa bisa dengan mudah melakukannya. Aku berharap waktu bisa membantu menyembuhkan lukamu dan melupakanku selamanya. Selamat Tinggal Mujin-a.. terima kasih dan maafkan aku.."

Mujin menangis sejadi-jadinya, ia sedikit meremas sisi kertas itu pada bagian ia pegang.
Ia melirik dan mengambil amplop putih itu dan membuka isinya.
Ya benar, Kertas itu adalah formulir surat cerai yang susah payah diisi Jiwoo berulang-ulang dan sudah di stempel basah dan tanda tangan Jiwoo.

Hancur sudah hati Mujin tidak bersisa, hancur sehancur hancurnya. Ia memukul dan meninju dengan tangan kanannya sangat keras pada dadanya yang terasa sesak walau tidak akan menyembuhkan apa-apa pada dirinya.

Mujin merebahkan tubuh lemahnya dikasur. Airmata tidak berhenti mengalir. Ia menatap kosong langit-langit kamarnya. Semua kenangannya bersama Jiwoo berputar di pikirannya.

Taeju berdiri di luar kamar untuk memastikan keadaan Mujin.

"Taeju-ya, cari keberadaan Jiwoo" ucap Mujin dengan suara serak dan lemah

"Ba- baik sajangnim" jawab Taeju terbata.

......

Seminggu yang dilewati Mujin terasa seperti semakin berat, walau ia tidak terlalu menunjukkannya tapi semuanya tersirat jelas diwajahnya yang selalu datar tanpa emosi, sebenarnya didalam tubuhnya emosinya sedang bergejolak hebat.

Mujin sampai dipenthouse nya, ia mengambil sebotol whisky dan 2 gelas kaca, ia duduk di sofa.

"Duduklah Taeju-ya, minumlah denganku" ucap Mujin menuang whisky setengah gelas dan menyodorkannya kepada Taeju.

"Nde sajangnim" balas Taeju canggung. Ia menerima gelas itu dengan sopan, ia membungkuk lalu sedikit menyampingkan tubuhnya untuk minum yang merupakan suatu kesopanan.
Baru kali ini Mujin mengajaknya minum juga membuatnya sedikit gugup.

"Duduklah dengan nyaman, mulai sekarang kau bisa memanggilku Hyung, hanya kau lah yang bisa kuajak bicara" ucap Mujin sembari menengak habis gelas whisky itu. Ia lalu mengambil rokoknya dari atas meja dan menyalakan sebatang.

Sejak Jiwoo meninggalkannya, Mujin pelan-pelan kembali menjadi pecandu alkohol dan perokok aktif bahkan sehari ia bisa menghabiskan sebungkus rokoknya. Ia sudah tidak peduli dengan kesehatannya. Bahkan jika mati sekalipun ia juga tidak takut, terkadang bahkan ia berpikir lebih baik mati daripada tersiksa seperti ini.

Jiwoo bukanlah wanita biasa yang hanya datang sekejab dalam hidupnya, tapi istri sah nya yang tak akan ia ceraikan sampai ia mati sekalipun, wanita pertama dan terakhir dalam hidupnya.

"Nde sajangnim ani.. hyung" balas Taeju gugup.

"Lalu ini.. semoga ini sedikit bisa membantumu hyung, anda akan tau saat melihatnya" Taeju mengulurkan tangannya memberikan Mujin sebuah USB.

Mujin menerima USB itu dan tersenyum tipis ke Taeju. Ia menaruhnya di meja, ia juga penasaran apa isi USB itu. Setelah mereka berdua menghabiskan sebotol whisky itu. Taeju tertidur di sofa karena mabuk.
Mujin yang masih sadar, ia memakaikan selimut ke bawahannya yang paling setia itu.

Mujin berjalan ke kamar dan mencolok USB itu di tv kamarnya. Saat layar tipis itu menyala, hanya dalam hitungan detik airmata Mujin mengalir dengan lembut dipipinya. Matanya tidak berkedip, iris matanya menatap layar kaca itu dengan lemah dan ia tersenyum pahit.

Itu adalah video yang diambil Taeju saat merekam pernikahan Mujin dan Jiwoo di Pulau Jeju.

Mujin yang duduk di tepi kasur sedikit membungkukkan badannya, kedua siku tangannya ditopang dipahanya untuk menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan besarnya, ia menangis parah, bibirnya bergetar karena tangisan yang tak bisa ia tahan, jantungnya kembali terasa nyeri.

Mujin kembali memutar video itu berulang-ulang, mengingat momen terbahagia sepanjang hidupnya. Mungkin ia akan menontonnya setiap hari untuk bisa melanjutkan hidupnya.

"Jiwoo-ya.. neomu bogoshipo" Mujin bergumam kecil menatap foto pernikahannya yang dibingkai digantung di kamarnya.

Mujin akhirnya tertidur karena kelelahan, dengan mata sembab tanpa mematikan tv nya.






Jiwoo memutuskan untuk tinggal di Boston Amerika Serikat, ia sempat meminta bantuan temannya untuk bisa menetap disana dengan bekerja. Namun pekerjaannya masih dicari, sementara Jiwoo hanya akan beristirahat sampai temannya menghubunginya.

Ia menyewa sebuah apartemen sederhana yang nyaman, untungnya ia memiliki simpanan pribadi yang cukup banyak ditambah Mujin selalu memberikan uang yang sangat banyak untuknya, bahkan bisa dibilang cukup membeli apartemen mewah sekalipun.

Jiwoo berdiri di balkon kecil apartemennya menatap gedung-gedung coklat besar itu yang mempunyai warna elegan.

"Baru beberapa hari saja, aku sudah sangat merindukanmu Choi Mujin, apa tindakanku sudah tepat setelah meninggalkanmu?" Jiwoo menghela nafas dari mulutnya, ia membuka ponsel di galeri melihat foto yang ia ambil bersama Mujin, ia tersenyum kecil dengan setetes airmata lolos dari ujung mata.

Jiwoo lalu mengirimkan sebuah pesan ke Taeju.

"Taeju-ssi, Ini nomorku Yoon Jiwoo, Hubungi aku jika sangat urgent"

Taeju membacanya dengan terkejut dan ia menyimpan kembali ponselnya dan menghela nafas panjang memandang pintu kamar Mujin.


Kasian om Mujin 😭😭😭😭
Nulisnya juga sedihh bangat 🥲🥲

Yang mau lebih nyesek ayo vote komen ya!
🥺🥺🥲🥲

Love Struck 2 : PainfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang