XI

248 39 36
                                    

Mujin bersiap pergi bekerja, ia berdiri didepan pintu kamar Jiwoo dengan perlahan membuka pintu itu dan Jiwoo masih tertidur dengan mata bengkak dan sembab.   

Mujin mengusap pelan rambut istrinya, nyeri dan sesak di dadanya kembali menjalar sampai ke jantungnya. Ia mengecup pelan pipi Jiwoo.   

Mujin keluar dari kamar itu dan pergi dari penthouse. Ia meyakinkan dirinya bahwa Jiwoo semalam hanya mengatakan itu karena mabuk atau emosi nya sesaat, ia akan menerima semua luapan emosi Jiwoo asal semuanya tidak benar-benar terjadi.

Jiwoo terbangun cukup siang, ia merasakan dadanya yang nyeri, rasa sakit itu terasa sangat melekat erat ditubuhnya setiap saat, atau seperti menjadi makanannya sehari-hari, ia bahkan sudah kenyang jika merasakan semua itu. ia lalu bangun dan mandi. Ia mengganti bajunya dan bersiap pergi.   

Taxi yang ditumpangi Jiwoo berhenti disebuah gedung besar ditengah-tengah kota Seoul. Jiwoo berjalan masuk ke dalam dan mengambil sebuah formulir dan mengisinya.   

Bahkan mengisi formulir itu saja ia lakukan berkali-kali karena air mata yang terus menetes membasahi kertas itu.

Setelah dengan susah payah ia mengisinya, Jiwoo memasukkan kertas itu ke dalam amplop putih. Ia mengambil ponselnya dan mengirimkan sebuah pesan.

Jiwoo : Taeju-ssi, apa kau punya waktu sebentar? Aku ingin berbicara dengamu, tapi kumohon jangan beri tau ke Choi Mujin

Taeju : Baik

Jiwoo dan Taeju berjanjian bertemu disebuah cafe.

"Maaf membuatmu datang diwaktu sibukmu, apa yang kau katakan pada Mujin?" tanya Jiwoo.

"Aku mengatakan ingin dokter karena tidak enak badan dan akan segera kembali" jawab Taeju.

"Baguslah, terima kasih Taeju-ssi" ucap Jiwoo tersenyum kecut.

"Lalu apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Taeju penasaran.

"Taeju-ssi.. aku ingin kau berjanji untuk selalu menemani Mujin dimanapun dan kapanpun bahkan dirumah, aku.. aku akan pergi dari hidupnya, aku mohon juga jangan mencariku, jika Mujin menyuruhmu mencariku, kumohon jangan memberitahunya, katakan kau tidak bisa mencariku atau melacak apapun itu" Jiwoo menunduk menahan airmatanya, ia mengepalkan tangannya.

"Apa maksudmu? Kenapa kau ingin meninggalkan sajangnim?" tanya Taeju mulai panik.

"Taeju-ssi.. aku tidak bisa membahagiakannya lagi, dengan berjalannya waktu aku harap Mujin bisa melupakanku, aku benar-benar memohon padamu untuk menjaga Mujin, dia terlihat kuat diluar namun sebenarnya ia sangat lemah" airmata Jiwoo menetes deras.

"Berjanjilah padaku Taeju-ssi, jaga Mujin untukku, hanya kau lah yang kupercaya" Jiwoo menatap Taeju dengan penuh airmata.

"Baiklah, walau aku tidak menjamin bisa melakukannya dengan baik, aku akan berusaha" Taeju menatap Jiwoo dengan sedih.

"Jeongmal gomawo Taeju-ssi" ucap Jiwoo memaksakan senyuman pahitnya.

"Aku akan menghubungimu jika aku sudah sampai disana untuk memberikan kontakku" ucap Jiwoo.

Jiwoo berdiri lalu menatap Taeju dengan sendu dan melangkah pergi.

Taeju kembali menjemput Mujin, mereka sekarang akan menuju ke Busan. Hari sudah malam namun Mujin tidak bisa menundanya karena penting, ia mungkin akan menginap semalam lalu pulang paginya.

Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam.

Ddrrtttt!

Ponsel Mujin bergetar, ia baru selesai mandi, ia menginap disebuah hotel bersama Taeju.

Wajahnya terlihat senang mendapat panggilan dari Jiwoo.

"Yeobo.. kenapa kau belum tidur? Maaf aku tidak pulang malam ini, Aku akan pulang besok pagi" ucap Mujin.

"Gwaenchana.." Jiwoo ingin melanjutkan perkataannya namun suaranya tidak bisa keluar, nafasnya tercekat kuat ditenggorokannya.

"Mujin-ah.. maafkan aku.. aku tidak bisa membuatmu bahagia, aku benar-benar minta maaf.."

"Aku sangat senang bisa menjadi istrimu, itu adalah anugerah terindah yang pernah kurasakan, aku sangat bersyukur"

"Terima kasih untuk semuanya pengorbananmu dan jaga kesehatanmu, hati-hatilah diperjalanan pulang besok" Jiwoo mengatakan dengan suara gemetar yang ia tahan-tahan sedari tadi, Mujin bisa merasakan getaran suara Jiwoo karena nafasnya sedikit tersengal. Jiwoo segera mengakhiri panggilan itu.

"Yeobo! Yeobo!" Mujin berteriak dengan keras.

Mujin kembali merasa tidak tenang, firasatnya mengatakan hal yang buruk akan terjadi.

"Ini terdengar seperti ucapan perpisahan" batin Mujin dalam hati.

Mujin segera berganti pakaian dan membangunkan Taeju, ia mengambil kunci mobilnya dan bergegas pulang ke Seoul.
Sepanjang perjalanan perasaan resah gelisah tidak karuan, ia terus mencoba menelepon Jiwoo namun ponselnya sudah tidak aktif.

Taeju mencoba membaca situasi yang seperti ia duga, semua ini benar-benar terjadi. Mujin hanya akan sepanik ini jika berhubungan dengan Jiwoo.

Jiwoo memegang paspor dengan tiket pesawat yang tertera " Seoul- New York " terselip didalamnya, sebelah tangannya menarik sebuah koper dan tas diatasnya.

Setelah petugas pemeriksaan bandara memeriksa identitas Jiwoo, ia mempersilahkan Jiwoo untuk masuk ke dalam. Jiwoo menoleh sebentar ke belakang melihat sekitar bandara itu, airmata menetes pelan dari ujung kedua matanya sedikit membuyarkan pandangannya, sebelum akhirnya ia melangkah dengan pasti meninggalkan negara kelahirannya dan juga pria yang sangat ia cintai.

"Selamat tinggal Mujin-ah. Aku harap kau bisa menemukan kebahagian baru dan melupakanku selamanya"



2 jam lebih berkendara ditengah malam dengan jalanan sepi membuat mereka berdua lebih cepat sampai di Liber.

Mujin langsung keluar dan berlari dari mobil tanpa sempat menutup pintu, yang ada dipikirannya hanya Jiwoo.

"Tidak Jiwoo-ya, tidak mungkin, aku mohon.. aku mohon.." batin Mujin dalam hati berulang kali.

Mujin sampai di penthouse dan mencari seisi rumah, Mujin meyakinkan dengan membuka lemari baju kamar dan benar, baju, beberapa barang Jiwoo sudah tidak ada disana dan kopernya juga tidak ada.
Kakinya seketika lemas, ia jatuh terduduk dilantai dingin itu dengan airmata yang mulai mengalir.

Dengan susah payah Mujin bangun, ia memegang dadanya yang terasa sangat sesak, ia bahkan hampir tidak bisa bernafas sekarang, setiap tarikan nafas terasa begitu berat. Ia melihat di nakas ada sebuah kotak yang mirip kotak cincin, amplop putih dan selembar kertas yang terlipat rapi.

"Aku tidak bisa menahannya lagi" batin Mujin dalam hati.

Brukk!!
Tubuh Mujin ambruk terjatuh tak berdaya di lantai. Ia tidak sadarkan diri.


Sudah capek bangett 😭😭
Gak kuat lagi ngelanjutinnya 🥲🥲

Izin pensiun ajalah 😖 Bye 👋🏻🥺

Love Struck 2 : PainfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang