Mujin menuang segelas whisky dan langsung menengaknya habis dengan beberapa tetesan jatuh dari bibirnya. Ia memejamkan matanya sejenak, jika saja Jiwoo tadi tidak menghentikannya mungkin pria cabul itu sudah merenggang nyawa ditangannya. Tidak ada yang boleh menyentuh miliknya, Jiwoo adalah miliknya seorang dan dia adalah milik Jiwoo seorang.
Ia mengeratkan cengkraman gelasnya dengan geram, hampir memecahkan gelasnya sebelum Mujin mendengarkan suara isak tangisan didalam kamar. Sedikit menyadarkan pikirannya, ia berjalan ke kamar dan dapat mendengar Jiwoo menangis.
Tok tok.
"Jiwoo-ya.. ada apa, kau menangis?" kata Mujin lirih terselip rasa bersalah dalam ucapannya.
"Maafkan aku Jiwoo-ya, aku tadi tidak bisa mengontrol emosiku"Jiwoo membasuh wajahnya di wastafel, menyeka sisa airmata yang masih saja tidak mau berhenti. Ia membuka pintu kamar mandi dengan pelan.
Ia menatap Mujin dengan hati yang berkecamuk, dadanya terasa sesak, nyeri, sakit yang tidak dapat diucapkan dengan kata-kata. Jiwoo berusaha menahannya."Aku tidak apa-apa" Jiwoo mencoba sekuat tenaga untuk tersenyum tipis walau hatinya bagai ditusuk.
Mujin memeluk Jiwoo dengan erat. Hatinya tidak kalah sakit melihat Jiwoo yang berusaha tersenyum padanya. Rasanya seperti satu ton batu menghantam dadanya. Kerongkongannya terasa tercekat.
"Jiwoo-ya.. jika ada masalah apapun, ceritakanlah padaku.. aku akan selalu mendengarkanmu, aku ingin menjadi suami yang bisa diandalkan" Mujin mengusap punggung Jiwoo menenangkannya.
Jiwoo melepaskan pelukan itu dan kembali tersenyum. Namun matanya tidak dapat berbohong bahwa hatinya sakit, dengan tumpukan airmata yang akan segera jatuh ke pipinya.
"Aku mengantuk" Jiwoo berjalan ke kasur dan merebahkan tubuhnya yang terasa sangat lelah, memejamkan matanya namun bayang-bayang foto Mujin dengan pelacur itu terus berputar di kepalanya.
Mujin duduk disamping Jiwoo, ia membelai rambut penuh kasih sayang. Mengecup pipinya dengan lembut.
"Mianhae, Jiwoo-ya" bisik Mujin pelan.
Sudah beberapa hari ini Mujin dan Jiwoo tidak terlalu banyak bicara, walaupun sikap Jiwoo seperti biasa namun Mujin tau ada sesuatu yang dipendam rapat-rapat oleh istrinya. Jiwoo juga selalu menghindari tatapan Mujin, terkadang ia menghindari Mujin saat ingin menyentuhnya dengan berbagai alasan, namun anehnya Jiwoo selalu tersenyum kepadanya seolah tidak terjadi apa-apa.
Mujin berada di ruang kerjanya, dengan sebatang rokok yang terselip di antara jarinya, sebelah tangan disaku celana, ia berdiri menatap ke luar jendela kaca. Pikirannya melalang buana, setiap saat hanya Jiwoo lah yang ia pikirkan.
Taeju masuk ke ruangan Mujin membawa sebuah amplop dan meletakkannya di meja Mujin.
"Sajangnim, ada yang mengirim amplop ini di lobby hotel tanpa nama" kata Taeju berdiri didepan meja.
Mujin berbalik dan duduk dikursi besarnya dengan rokok yang terselip dibibirnya. Ia membuka amplop itu, matanya terbelalak membulat dengan iris mata yang bergetar, dalam hitungan detik emosi meletup hebat dikepalanya, rahangnya menegang, ia mengepalkan kuat tangannya dengan urat-urat yang menyembul di punggung tangannya yang serasa akan putus menahan geraman.
Terdapat 3 foto dengan dirinya yang mabuk dan pelacur disampingnya memeluknya, merangkulnya, menyandar padanya. Mujin meremas foto itu, ia mengambil sebuah kertas yang terselip didalamnya.
"Bagaimana reaksi istrimu saat kukirimkan ini padanya beberapa hari yang lalu, apa dia menamparmu dengan keras? Atau melayangkan surat cerai?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Struck 2 : Painful
RomanceSilahkan baca Love Struck dulu ya, ini Sequel nya 💜