XIV

273 42 81
                                        

"Sajangnim!!! Sajangnim!!! Hyungg!!" Taeju terus memanggil Mujin tanpa henti walau tidak ada jawaban sama sekali.

Taeju segera memapah Mujin dan membawanya ke mobil, untungnya dia berhasil menghindari kejaran polisi dan berhasil kabur membawa Mujin ke rumah sakit.

"Sajangnim! Bertahanlah! Aku mohon! Hyung jangan tinggalkan aku" Taeju menangis semakin keras sembari menyetir dengan kecepatan penuh.

Darah mengalir deras membasahi seluruh kemeja dan jas Mujin bahkan mengenai jok mobil, ia sudah tidak sadarkan diri.


Prof. Park berlari dengan kencang menuju ruang operasi setelah Taeju meneleponnya memberitahu keadaan Mujin.

Taeju duduk di kursi menunggu Mujin. Airmatanya masih sesekali jatuh dari matanya. Ia sangat tau bahwa Mujin selama hampir setahun ini sangat menderita setelah Jiwoo meninggalkannya entah kemana.

Mujin jatuh terpuruk di titik terendahnya sepanjang hidupnya.

Setelah 4 jam diruang operasi, Prof. Park keluar dari ruangan dan menghampiri Taeju.

"Operasinya berjalan lancar, aku akan memindahkannya ke kamar intensif" ucap Prof. Park menenangkan Taeju.

Taeju bernafas lega walau hatinya merasa ada yang janggal atas tindakan Mujin yang hanya pasrah menerima tembakan itu. Mujin bukanlah orang yang seperti itu.

Taeju mengikuti Mujin saat beberapa suster mendorong ranjangnya ke kamar intensif VIP.


Sudah seminggu Mujin tidak juga siuman.
Bahkan Prof. Park sudah setiap saat memantau keadaan Mujin, ia sedikit kebingungan karena seharusnya Mujin sudah siuman. Tapi ini terlihat seperti mengalami keadaan koma. Luka di tubuhnya bahkan terlihat perlahan pulih.

Taeju duduk dikursi di samping ranjang Mujin, ia sendiri bahkan tidak sempat berganti pakaian berhari-hari, darah Mujin yang mengenai kemejanya bahkan sudah mengering.

Sesekali Mujin menggerakkan jarinya, jika dilihat lebih dekat ia bahkan menangis dengan airmata yang jatuh dari ujung matanya walau matanya tertutup.

Prof. Park datang lagi, kali ini wajahnya terlihat lebih cemas dari biasanya. Ia mengajak Taeju untuk bicara diluar kamar.

"Bagaimana keadaannya Prof. Park?" tanya seorang Taeju dengan suara gemetar, wajah yang panik, khawatir, matanya memerah dengan nafas terengah kepada Dokter kepercayaannya.

Prof. Park itu menghela nafas panjang, wajahnya tersirat kekhawatiran yang tidak jauh beda dengan pria didepannya.

"Aku sudah meneliti, kemungkinan ini disebut Prolonged grief disorder merupakan gangguan kesedihan yang mendalam berkepanjangan, trauma ini tidak bisa menerima apa yang terjadi padanya" ucap Prof. Park menunduk sedih.

"Setelah terluka seperti ini, aku tidak bisa menjamin apakah ia bisa siuman secepatnya atau tidak, dibeberapa kasus ada yang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk kembali siuman karena pikirannya hanya ingin menerima apa yang ia rasakan, psikis nya juga terganggu. Itu adalah kemungkinan yang terburuk untuk saat ini" jelas Prof. Park kepada pria didepannya yang sekarang tidak bisa menahan airmatanya dan menangis tersedu-sedu dengan bibir gemetar.

Pria yang biasanya terlihat dingin, tidak berperasaan ini seketika menjadi terlihat sangat lemah.

"Aku akan terus memantau keadaannya setiap saat, apapun yang terjadi aku akan menyelamatkannya walaupun sebenarnya ada seseorang yang lebih bisa membuatnya kembali, kita juga tau apa yang terjadi padanya" Prof. Park menepuk pelan pundak Taeju.

Taeju lalu menyeka airmata yang terus mengalir.
Ia mengeluarkan ponselnya, mencari nama yang ia kenal.

"Hubungi aku jika sangat urgent" Pria itu mencoba mengingat samar-samar apa yang dikatakan seorang wanita kepadanya. Pikirannya sudah tidak bisa berpikir jernih.

Ia menoleh sekilas melihat ke dalam kamar VIP seorang pria berotot berbadan kekar itu terbaring lemah, jarum infus yang menancap dipunggung tangannya dengan beberapa monitor pemantau disamping tiang infus, disebuah rumah sakit terbesar di Seoul.

Taeju menggenggam ponsel itu dengan tangan yang gemetar hebat, terpampang seorang nama dan nomor ponsel yang berasal dari luar negri.

Titt.........

Suara monitor yang cukup keras memecah kesunyian kamar itu hinga terdengar diluar kamar, pemantau detak jantung itu seketika membuyarkan pikirannya, Taeju berlari ke kamar Mujin dan melihat monitor yang menunjukkan jantung yang tidak berdetak lagi.

Prof. Park juga berlari masuk dengan panik luar biasa, suster yang membantunya segera menarik alat pengejut jantung, Prof. Park menempelkan alat itu ke dada Mujin beberapa kali namun hasilnya masih sama. Monitor kecil itu masih menunjukkan garis horizontal.

Prof. Park meletakkan alat pengejut itu, ia dengan cepat beralih menaiki ranjang dengan kedua telapak tangannya terus memompa jantung Mujin berharap agar jantungnya berdetak kembali.

Sedangkan Taeju sudah menangis tersedu-sedu sedari tadi melihat Mujin yang hampir kehilangan nyawanya.



Jiwoo baru saja pulang dari tempatnya bekerja namun baru saja ia sampai di apartemennya, ia merasakan dada nya sesak dan airmatanya menetes begitu saja tanpa ia sadari.

"Kenapa aku tiba-tiba seperti ini?" batin Jiwoo.

Ia memukul pelan dadanya yang terasa sesak dan ia menangis semakin kencang, ia terduduk dilantai memeluk lututnya di tepi kasurnya. Bersamaan dengan getaran ponselnya di saku Jiwoo.

Ddrrtttt!

Jiwoo melihat nama Taeju terpampang di ponselnya, dengan nafas terengah ia menerima panggilan itu.

"Jiwoo-ssi.. sajangnim... sajangnim.." ucap Taeju terbata suaranya terdengar sangat bergetar sembari menangis dengan nafas tidak beraturan.

Jiwoo merasakan ludahnya yang tercekat di tenggorokannya, suara nya yang tidak bisa ia keluarkan dan nafas yang keluar dari mulutnya terasa semakin sulit.




Mianhae readers telat up 🥺🥺

Om Mujin nya mau sad atau happy nih 😭😭
Tiap nulis sedih gini pasti jadi galau 😖😖

Love Struck 2 : PainfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang