08

458 51 2
                                    

Libur weekend pun tiba. Setelah lima hari Dika disibukkan dengan kegiatan perkuliahannya, maka jika weekend ia hanya akan menghabiskan waktu untuk beristirahat.

Dulu sebelum mempunyai Ara mungkin Dika bisa main dan nongkrong kapan saja. Namun, kini hal tersebut tidak berlaku lagi semenjak ada Ara dihidupnya. Lucunya, semenjak ada Ara, jika anak itu melihat Dika sudah berpenampilan rapi, sekalipun karena mau pergi ngampus, biasanya Ara pasti menangis. Itu yang mendasari Dika kini mengambil keputusan bahwa tiap weekend ia hanya akan menghabiskan waktunya bersama putri tercintanya itu. Menenangkan Ara disaat dia lagi rewel-rewelnya cukup butuh perjuangan lho.

Mengawali hari Sabtu ini Dika berencana akan mengajak anaknya jogging di sekeliling komplek. Kalau cowok-cowok di luar sana hari libur ditemui banyak yang bermalas-malasan di tempat tidur, maka tidak berlaku bagi Dika yang dari azan Subuh berkumandang ia sudah bangun tidur. Dika akan bergegas mandi lalu mengerjakan shalat Subuh. Ini terjadi setiap harinya. Ya, Dika paling tidak bisa bangun siang hari.

Karena Dika mempunyai pandangan dengan ia bisa bangun melihat pagi yang indah maka ia seperti berhak memiliki kesempatan baru untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi dari hari kemarin.

Sekitar pukul enam pagi Dika sudah bersiap-siap. Rumahnya kali ini kelihatan lebih sunyi karena para sesepuh, ralat, orang tuanya ada pekerjaan di Amerika. Dika bisa lebih bebas!

"Mbak Irene, Aranya mana??" teriak Dika dari ruang tengah sambil sibuk memakai sepatu olahraga.

Dika sudah ganteng dengan setelan olahraga satu set dari brand Adidas. Sama sekali tidak terlihat ayah beranak satu. Bedanya, bundanya belum ada nih.

Gak lama Mbak Irene turun. Digendongannya terlihat Ara yang sudah tertawa cekikikan entah apa penyebabnya, anak itu makin menggemaskan melihat pakaian yang dikenakan kembar dengan sang ayah bedanya Ara versi ukuran untuk anak-anak.

"Pa pa pa pa..."

Ara tiba-tiba saja mencak-mencak di gendongan Mbak Irene. Ia sudah mendapati ayahnya yang rapi. Andai anak itu tahu, padahal pakaian yang ia dan ayahnya pakai sama. Pun, Dika akan pergi bersamanya bukan pergi sendirian seperti biasanya meninggalkan Ara.

"Ini Papanya masih pake sepatu, sayang. Ara gak ditinggalin Papa kok." Mbak Irene mencoba menenangkan Ara yang masih saja ingin cepat-cepat Dika menggendongnya.

Setelah selesai memakai sepatu praktis Dika berdiri.

Ia mengulurkan tangannya ke depan baby Ara. Anak itu wajahnya langsung berseri-seri.

"Gak jadi deh." Tiba-tiba Dika membelakangi putrinya itu.

Irene yang mengetahui situasi di mana Dika ingin menjahili sang anak tersenyum menatap keduanya secara bergantian.

"Tuh Papanya marah pasti deh, karena Ara lama ya Pa tadi siap-siapnya?" ucapnya.

Dika mengangguk polos. "Papanya udah lama banget nungguin tapi si putri kecil ini masih bobo aja."

Lalu bagaimana reaksi Ara?

Ya, nangis. Membuat Irene dan Dika seketika kompak tertawa.

"Utututu gak kok sayang, gak dimarahin ya, Papa sayang banget sama Ara gini gak mungkin marah-marahin Ara dong," ucap Dika ketika sudah membawa Ara ke dalam pelukannya. Lalu, melirik ke arah si pengasuh. "Aku izin bawa Ara jalan-jalan ya, Mbak Irene. Tolong jagain rumah."

Irene mengangguk. "Itu anaknya Mas Dika ngapain minta izin sama Mbak? Oh ya, Mas."

Dika berdeham yang terdengar seperti bertanya apa yang ingin Irene bicarakan padanya saat ini.

Ideal Papa✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang