16

318 33 4
                                    

Pagi ini Dika cukup dibuat repot. Gerakannya terus terburu-buru karena harus bersiap-siap untuk berangkat bekerja tapi disatu sisi anaknya pun rewel.

Ia mengurus semuanya sendiri. Iren izin pulang kampung untuk menemani anak keduanya yang kabarnya baru masuk sekolah dasar. Sebetulnya Iren tidak pergi dadakan. Dia sudah pamit dari jauh hari agar mendapatkan izin dari majikannya lebih mudah. Namun, tetap saja tanpa Iren maka Dika merasa semua pekerjaan di rumah terasa sulit dan dua kali lipat capeknya.

Orang tuanya masih betah menetap di Bali. Perusahaan betul-betul sudah Dika yang urus semuanya.

"Papa gendong."

"Sebentar ya, Nak."

Sejak tadi Ara rewel minta digendong papanya. Selain itu pun, Dika dapat mengetahui penyebab Ara terus merengek karena anak itu lapar belum sarapan.

Dika tengah berdiri di depan kaca full body. Memakai jam tangannya untuk menunjang penampilan. Tubuhnya sudah terbiasa memakai pakaian semi formal.

Tangis Ara semakin memekik. Ditarik-tarik lengan panjang sang ayah.

"Ih sebentar dong Ara. Papa tuh harus ganteng. Katanya Ara mau Mama, kan?" ucap Dika sembarangan. Mulutnya masih suka bicara asal ceplos. Ya, seorang Dika pun tidak ingin menjalani hidup terlalu serius.

"Papaaa," rengek anaknya lagi.

Dika menghela nafas.

Merendahkan pandangan hingga menatap anak perempuan yang berdiri di depannya. Wajah Ara memerah, tampak matanya pun sembab, serta jangan lupakan bibirnya yang turun seakan betul-betul tengah sedih.

"Sini yuk Papa gendong." Diangkatnya tubuh Ara. Menyimpan pada dekapannya. "Maafin Papa ya daritadi cuekin Ara."

"Mbak mana?" tanya Ara.

Ia menanyakan keberadaan Iren yang belum ditemuinya pagi ini.

"Mbak pulang kampung, Nak. Gak lama kok nanti Mbak balik lagi. Ara gapapa ya sama Papa dulu?" jawab Dika.

Ara mengangguk pelan. Ia melingkarkan kedua lengannya di antara leher sang ayah. Suara rengekannya sesekali masih dapat Dika dengar dengan jelas.

"Papa bikinin Ara sarapan ya. Nanti Ara sama Tante Celine lagi gapapa kan, Nak?" Celine tetangga samping kanan rumah Dika. Kemarin ia menitipkan anaknya ke sana kala Iren pergi mengirim paket untuk keluarganya di Malang. Tapi tak terduga, Ara justru diambil oleh Alisha sebelum Dika pulang ke rumah.

"Nda mau, Papa. Ara mau sama Papa aja, kan gak ada Mbak," jawab Ara pelan.

Dika mengelus rambut putrinya sambil menimang.

Sejenak Dika terpekur.
Tidak mungkin kan dia membawa anak ke kantor?

Tidak lama Dika mendapatkan ide. Senyumnya mengembang.

Diraihnya ponsel di nakas. Mencoba menelepon seseorang sambil jalan keluar dari kamar.

Sampai di dapur maka Dika membiarkan Ara duduk di ruang makan.

Sementara ia sibuk pada ponselnya.

"Halo Jihan."

"Iya Dika kenapa?"

"Kamu lagi di mana, Han? Aku boleh minta tolong?"

"I-ini aku lagi di rumahnya Jeff."

Praktis Dika menjambak rambutnya. Terlupa pasti Jihan ada bersama Jeff terus mengingat kekasihnya masih berduka. Pasti Jeff butuh ditemani seseorang.

"Yah. Yaudah deh Han aku gajadi minta bantuan kamu. Temenin Jeff terus ya di situ."

"Beneran, Ka? Ngomong ajalah siapa tau aku masih bisa bantu."

Ideal Papa✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang