33

306 24 6
                                    

Dika dan Alisha sibuk mengosongkan kamar mereka. Lusa mereka akan mulai pindahan rumah baru. Setelah memberi tahu pada istrinya ia sudah membeli rumah untuk mereka, Dika tidak terburu-buru memboyong istri dan anaknya untuk tinggal di sana. Justru, sampai sudah lewat satu bulan barulah Dika memantapkan diri untuk pindahan setelah pekerjaannya di kantor betul-betul sudah santai.

Barang-barang Dika, Alisha, dan Ara tidak sedikit. Sampai memakai truk fuso untuk mengangkut semua barang-barang berharga milik mereka. Bahkan ada beberapa furnitur dari rumah Fathailah yang ikut terbawa. Tak apa, Fatih dan Vita mana mungkin marah. Malahan, orang tua Dika itu sedih akan ditinggal oleh anak mereka satu-satunya.

Alasan mendukung Dika cepat membeli rumah padahal baru beberapa bulan menikah yaitu ia menerima keluhan dari Alisha yang tidak rukun bertetangga dengan penghuni komplek sana, di mana ibu-ibunya info dari Alisha rata-rata biang gosip dan bermulut pedas. Karena istrinya tidak nyaman itulah mengapa Dika memutuskan agar mereka segera punya hunian sendiri.

Alisha sedari tadi kasihan melihat Dika tidak berhenti bolak-balik, pria itu turut membantu mengangkat-angkat barang, peluhnya banjir tapi tak mengenal kata letih. Ingin sekali membawakan segelas air atau misalnya menyeka keringat pria itu, tetapi anehnya tiap dekat dengan Dika rasanya Alisha ingin marah-marah terus bahkan sampai mual tak tertahankan.

"Semangat!!" ucapnya bila berpapasan dengan suaminya yang hanya membalas lewat senyuman.

"Mama!! Kenapa boneka-boneka Ara kok dimasukin ke dalam kotak ini?" kata Ara kini bersama ibunya dan ada Iren yang tengah mengemasi mainan Ara yang jumlahnya banyak sekali. Terbukti Dika sangat royal dalam membahagiakan putrinya.

"Kan kita mau pindahan, Ara Sayang. Sini bantu yuk, ini kan mainan-mainan kamu," titah Alisha pelan.

Ara mengangguk. Turun dari skuter itu lalu duduk di depan ibunya. Dimasukkan boneka-boneka kecil yang berserakan di sekitarnya ke dalam kotak plastik berukuran besar berwarna putih itu.

"Huek- aduh mual banget dari tadi lagi," monolognya.

Iren mengernyit.
"Bu Alisha gakpapa? Mbak Iren perhatiin emang lemes banget lho Ibu."

"Mual sama pusing banget," balas Alisha curhat pada Iren mantan pengasuh Ara saat ia masih bayi.

"Isi kali," celetuk Iren asal.

"Mbak Iren apaan sih? Ngaco." Alisha memijat-mijat pelipisnya yang nyeri.

"Lho kok ngaco sih Bu? Kan Bu Alisha punya suami, ya misal bener hamil gak masalah to? Cek dulu aja ndak mau Bu?" usul Iren.

Seminggu belakangan memang terus merasa mual, pusing dan mudah lemas, tapi Alisha tak berpikir jauh kalau dirinya berbadan dua. Namun, karena asumsi itu ia jadi teringat kalau sudah lewat delapan hari dari tanggal menstruasinya yang seharusnya.

"Cek gak ya?" ucapnya pada dirinya sendiri, lagi.

"Aku keluar bentar ya," kata Alisha pada Iren yang praktis mengangguk mengiyakan.

"Mama." Tapi lengan Ara ditahan oleh Iren. Membawa anak itu ke dalam pangkuannya.

"Sini sama Mbak, Mama gak lama kok pergi cuma mau ke kamarnya," kata Iren untung berhasil membuat Ara tak melakukan perlawanan.

Di sisi lain, Alisha memutar kenop pintu kamarnya hendak masuk ke dalam sana.

"Sayang."

Ia tersentak kaget saat suara Dika berhasil mengejutkan.

"Bikin kaget aja sih," omel Alisha. "Jangan deket-deket."

"Lebay," ejek Dika. "Mau ngapain ke dalam? Udah kosong Beb kamar kita."

Ideal Papa✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang