23

292 31 15
                                    

Bertemu akhir pekan lagi. Dika tidak menyibukkan diri bermain dengan Ara. Pagi ini ia tengah serius di depan sebuah lemari. Tepatnya, di mana dulu ia menyimpan semua perlengkapan Ara ketika masih bayi. Kemarin, saat Alisha sudah menerima lamarannya lalu bersedia Dika bantu untuk mencari putrinya, maka mereka bergerak cepat untuk memulai mengulik informasi dari berbagai tempat yang berhubungan dengan putrinya Alisha yang hilang tiga tahun lalu. Seperti mendatangi klinik tempat dulu Alisha melahirkan bayinya. Untung klinik itu masih aktif beroperasi sekalipun tempatnya di pedesaan kecil.

Baik Dika dan Alisha sudah mengantongi beberapa informasi terkait bayi itu. Dan entah kenapa, inilah yang menjadi alasan Dika ingin menyamakan identitas bayi Alisha dengan milik Ara. Dika membuka sebuah berkas lalu membacanya dengan seksama.

"Ara gak tau jelasnya tanggal berapa dia lahir, tapi kata pihak rumah sakit waktu itu kemungkinan usia Ara sudah dua hari saat gue temuin dia. Secara bersamaan dua hari sebelum itu Alisha melahirkan anaknya. Berat dan tinggi badan bayi-bayi ini juga sama. Apa mungkin Ara anaknya Alisha yang selama ini hilang?"

Dika mendapatkan sensasi nyeri pada dadanya. Kepalanya pun terasa pusing. Teka-teki ini betul-betul membuatnya stress. Kalaupun benar Ara adalah bayi yang selama ini Alisha cari-cari Dika sebenarnya takkan keberatan. Namun, ia tiba-tiba dirasuki rasa takut yang besar kalau-kalau dugaannya memang benar maka nanti Ara akan dijauhkan darinya.

Masalahnya, Alisha seperti belum yakin dan siap akan menjadi istrinya. Dipikiran wanita itu hanya ingin bertemu dengan anaknya. Jika nanti ibu dan anak itu sudah bertemu, Dika takut eksistensinya justru tidak terlihat.

Tok!Tok!Tok

"Mas Dika."

"Alisha?"

Cepat-cepat Dika menyimpan kembali berkas-berkas yang berserakan pada tempatnya.

Dika berdiri lalu membukakan pintu kamar. Tak lupa menerbitkan senyum terbaik yang ia miliki.

"Hai."

"Aku mengganggu?"

"Nggak dong, calon istriku dateng ke rumah masa ganggu sih? Kamu sendirian aja?"

Alisha mengangguk.
"Aku langsung nyamperin kamar kamu gini gakpapa? Soalnya Mama sama Papa kamu gak ada jadi kata Mbak Iren suruh nemuin kamu langsung aja."

"Mereka udah pergi dari pagi, ada arisan keluarga yang tempatnya lumayan jauh," jawab Dika. Ia mengusap puncak kepala Alisha. Nafas perempuan itu sempat tercekat akan perlakuan Dika lalu ia memilih memundurkan langkahnya. Belum terbiasa. Sekalipun Dika terlihat seperti sudah menyayanginya.

Menyadari Alisha tidak nyaman maka Dika menurunkan lengannya.

"Maaf," ucapnya.

"Aku gak ngelihat Ara deh," kata Alisha.

"Ara lagi ikut jogging sama Mas Surya," balas Dika.

Ia menutup pintu kamar. Menuntun langkah mereka menuju ruang tengah untuk mengobrol di sana.

Alis Alisha terangkat sebelah.
"Kok kamu gak ikut, Mas Dika? Kamu udah capek lho kerja butuhlah keluar rumah sekedar jogging keliling komplek."

Andai Alisha tahu bahwa Dika sudah banjir keringat hanya karena memikirkan kemungkinan-kemungkinan bahwa Ara memang bayi yang selama ini Alisha cari. Namun, Dika takkan siap untuk menceritakannya kepada perempuan itu.

"Kalo olahraga doang di rumah 'kan juga bisa, Sha."

Ucapan Dika mampu menghentikan obrolan mereka. Tidak tahu topik apa yang akan dibicarakan.

"Alisha."

"Ya, Mas Dika."

Canggung. Benar-benar seperti dua insan yang masih malu-malu.

Ideal Papa✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang