62

265 24 4
                                    

Di rumah Fathailah sedang persiapan untuk memakamkan Surya. Sudah ratusan kali Dika merapalkan kata maaf di depan Iren, pun wanita itu sudah mengikhlaskan, tetapi tetap tidak bisa menggantikan rasa bersalahnya yang telah membuat Surya pergi untuk selamanya. Dika menatap telapak tangannya di mana ia pakai untuk menarik senjata api yang mampu melenyapkan nyawa Jovan. Bukan Dika menangisi kepergian ayah Maria, tidak sudi, ia masih merenung karena emosi sesaat dirinya mampu melakukan kesalahan fatal tersebut. Dika menyalahkan dirinya sendiri yang sudah banyak membuat banyak orang pergi dari sisinya.

Tidak hanya kehilangan Surya, ada Tio, Ara, dan Alisha yang sudah pergi. Tangis Dika kembali berderai. Ia tidak sanggup harus mengorbankan mereka semua. Dika tidak bisa bergabung dengan orang banyak saat ini sehingga ia memilih menyendiri di halaman belakang rumah orang tuanya.

Namun, ia tersentak saat suara bayi memasuki telinganya.

"Dika, anakmu nangis." Laras, saudara Dika dari Jogja turut hadir untuk membantu di rumah Dika yang sedang berduka, sekalipun ini seorang supir pribadi keluarga yang meninggal dunia.

Dika terhenyak. Ia menepuk-nepuk pahanya agar Alika diletakkan di sana, "Iya Mbak sini. Makasih udah bantu jagain Alika."

"Istri sama anak pertamamu gimana? Udah disuruh kan sama Eyang tinggal di Jogja tapi nolak, di sana kalian hidup tenang, bahagia, jauh dari masalah," ucap Laras.

Pria itu pun menghela nafas. Malas menanggapi ucapannya, "Biarin aku sendiri dulu, Mbak."

Laras wajahnya masam, tetapi ia segera mengangguk pelan dan melenggang pergi dari depan putra Fathailah itu.

"Apa Alika? Kenapa nangis nih? Kan sama Papa," bujuk Dika sembari mengusap-usap perut anaknya yang berada di dalam kurungan lengannya. Ia agak kesusahan bergerak secara leluasa sebab tangan sebelah kanannya mengalami cedera. Mengingat bagaimana Yudha memijak pergelangan tangannya sampai rasanya hampir remuk.

Namun, bayi itu tidak berhenti menangis. Sang ayah mencoba memberikan susu, tetapi tak membuahkan hasil. Alika tetap rewel bahkan sulit ditenangkan oleh siapapun.

"Dika Sayang udahlah maafin Alisha, suruh dia pulang lagi," pinta Vita saat mencoba membantu menenangkan Alika.

"Alisha di Bandung, Ma." Keputusan Dika yang membiarkan Yudha membawa Alisha dan Ara ke Bandung jelas mengejutkan banyak orang. Tak disangka-sangka membiarkan istri mengantarkan putri pertamanya untuk diperkenalkan pada keluarga ayah kandungnya. Dika sendiri belum tahu kapan Alisha kembali, ia sudah tidak perduli terhadap wanita itu, jika Alisha benar-benar mencintainya pasti Alisha akan pulang ke rumah suaminya. Kalau tidak, Dika pun siap untuk melayangkan gugatan cerai. Dika tidak sanggup kalau Alisha masih senantiasa hidup di bawah bayang-bayang mantan pacarnya itu.

"Kasihan Alika lho, Nak," ujar Vita.

"Kita masih bisa sewa baby sitter buat Alika, dia gak papa hidup tanpa ibu kandungnya," balas Dika.

Vita mendorong pundak anaknya yang bicara tidak berpikir dulu, "Ngawur! Alika masih kecil banget jangan sampai dipisahkan sama ibunyalah! Lagian kamu sendiri yang ngasih izin ke bocah tengil itu buat bawa Alisha sama Ara. Seharusnya Dika gak boleh gitu."

"Dika udah capek, Ma. Dulu Alisha sampe diem-diem bawa Ara ke makam Reyhan masih Dika maafin, Alisha sering lho Ma ngigoin cowok itu tapi tetep Dika maafin dan gak ambil pusing. Bayangin Ma, Dika bersaing sama orang yang udah gak bernyawa, gak masuk akal banget. Sampe ini udah menyeret keluarga Reyhan yang ingin langsung Alisha bersama Ara kembali ke mereka, artinya kan memang masih ada interaksi yang terjalin tanpa sepengetahuan Dika selama ini. Dika bisa aja ngasih izin kalo emang keluarga Reyhan pengen lihat Ara tapi dengan iktikad baik bukan malah mencelakai seperti ini," tutur Dika panjang lebar.

Ideal Papa✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang