17

321 32 2
                                    

Dika tidak menyangka Sabtu pagi dia sudah sampai di Bandung. Ini semua Ara punya permintaan. Ia pikir Ara sudah tidak mencari-cari Alisha lagi. Mengingat kemarin Rebecca bekerja sangat baik dalam mengasuh anaknya selama di kantor. Jadi, kalau Ara rewel ia hanya tinggal menyuruh Rebecca untuk datang ke rumah untuk menenangkan sang anak, sudah beres, maka Dika bisa tidur nyenyak.

Nyatanya itu cuma angan-angan.

Pukul lima subuh tadi Ara menangis tidak henti-henti. Suhu tubuhnya sampai tinggi. Kalau Ara sampai jatuh sakit Dika merasa sangat sedih. Berbagai cara Dika lakukan untuk menenangkan Ara justru semua sia-sia. Sudah membuatkan susu, digendong, menemani Ara bermain, sampai menelepon Mbak Iren pun Dika lakukan tapi Ara kembali rewel.

Anehnya, Ara terus memanggil Alisha seakan betul-betul ingin segera bertemu dengan wanita itu saat ini juga. Jangan tanya pada Dika mengapa Ara dan Alisha bisa tiba-tiba dekat, karena Dika pun tidak tahu jawabannya sampai sekarang.

"Bener gak sih ini rumahnya?"

Dika masih di dalam mobilnya yang sudah terparkir di depan rumah ala Belanda. Kuno sekali, tapi cukup mengherankan masih ada yang ingin menempati rumah bergaya seperti itu.

Ia akan sangat tercengang jika benar Alisha yang tinggal di sana.

Maka lelaki itu turun dari mobilnya. Tidak lupa menggendong sang anak yang baru bisa tertidur nyenyak setelah sekian jam dia terus menangis.

Tok.. Tok.. Tok...

"Assalamu'alaikum, Alisha?"

Jantung Dika berdegup tidak karuan. Bagaimana kalau ia terjebak di rumah misterius itu?

Tidak lama Alisha keluar dari sana. Seketika membuat Dika bernafas lega karena tadi jantungnya benaran seperti akan meledak akibat terlalu banyak asumsi jelek berkeliaran di otaknya.

"Wa'alaikumsalam. Eh Dika, Ara? Kalian beneran mau dateng ke sini ternyata. Ayo masuk!" seru Alisha. Menyambut tamunya dengan ceria.

Alisha tidak terlalu berekspektasi ada yang ingin mengunjunginya. Jadi, melihat kedatangan Dika ke rumahnya jelas kaget sekali.

"Kamu tinggal di sini sendirian, Sha? Astaga ini rumahnya serem banget," ucap Dika.

Alisha tertawa pahit. Sudah banyak yang mengatakan hal itu tentang rumahnya. Namun, alasan terbesarnya memilih membeli bangunan tua itu karena wilayahnya strategis. Dikelilingi sawah dan banyak pohon-pohon tinggi. Alisha selalu merasa sensasi sejuk dan damai.

"Ingin mencari ketenangan saja," jawabnya.

Alis Dika naik sebelah. Bingung pada pernyataannya. Namun, mau kembali bertanya takut membuat Alisha tidak nyaman.

"Sudah berapa lama di Bandung? Bukannya keluarga kamu semuanya di Jakarta, ya?" tanya Dika. Memilih mengalihkan pada arah obrolan yang baru.

"Belum lama kok, masih dua tahunan mungkin? Di sini ngajar juga makanya milih stay," jawab Alisha. "Kamu gak masalah ninggalin kerjaan di Jakarta, Dika?"

"Demi Ara sih ini, Sha. Nanti hari Minggu kemungkinan sudah harus balik. Do'ain ya Ara gak rewel setelah ketemu kamu." Dika tertawa. Masih merasa canggung.

"Ara biar tidur di kamarku aja gimana? Kasihan kan masa tidur di sofa gini? Di sini dingin banget lho," jelas Alisha.

Dika mengelus rambut putrinya yang terlelap. Sekalipun Ara bukanlah anak kandungnya tapi Dika akan melakukan semua yang ia inginkan. Nyawa sekalipun Dika siap untuk mempertaruhkannya. Itu karena Dika sangat menyayanginya.

Lelaki itu mengiyakan tawaran tuan rumah. "Terima kasih ya, Alisha."

"Gak masalah, Dika. Justru aku yang gak enak gini lho sama kamu masa sampe jauh-jauh ke Bandung cuma buat nemuin aku," kata Alisha.

Ideal Papa✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang