06

538 61 2
                                    

Tau apa hal yang paling membuat Dika bahagia?

Saat melihat Ara bisa berjalan.

Ada hal yang Dika amat sesali dan itu membuatnya merasa bersalah.

Ia terlalu serius pada perkuliahannya sampai-sampai hampir mengabaikan putrinya.

Waktu itu, saat Dika baru pulang ngampus, ia disambut oleh Ara yang sudah berada di gendongan Mbak Irene. Menjadi hal yang biasa saja bagi Dika menemukan pemandangan tersebut. Dika selalu akan menghampiri Ara lebih dulu.

Namun, kali ini sedikit berbeda. Dika benar-benar dibuat terpukau.

Mbak Irene melepaskan Ara dari dalam gendongannya, memegangi lengan anak perempuan itu yang mampu berdiri tegak, saat mata Ara bertemu dengan wajah tampan Dika tiba-tiba saja anak itu berlari menuju ayahnya dengan sangat gembira.

"Eh?" Mulut Dika refleks mengatakan itu. Lengannya pun seperti ingin cepat-cepat meraih tubuh Ara yang berjalan masih terhuyung-huyung. 

"Mbak ini seriusan? Ara udah bisa jalan?" tanya Dika pada Irene sementara Ara tengah memeluk kakinya.

Ara mengoceh melafalkan kata Papa dengan sendirinya.

Irene mengangguk yakin.
"Pinter banget si Ara kan, Mas? Mbak Irene jujur kaget. Dia lagi semangat-semangatnya berdiri gitu dari kemarin, okelah Mbak terus jagain dari belakang takut jatuh, tapi dari semalem dia udah mulai berani jalan, satu langkah, dua langkah, eh ini udah sampe berani lari-larian gini."

Sebagai pengasuh Ara jelas Dika memahami bagaimana rasa bahagia yang tengah Irene rasakan. Setiap hari wanita itu bersama Ara terus. Perkembangan anaknya tidak pernah Irene lewatkan.

Dika menggendong Ara lalu dicium pipi anak perempuannya itu. Tanpa sadar air mata pria itu menetes saking bahagianya melihat sang anak pandai berjalan. Ara sendiri saat ini masih berusia sebelas bulan. Ia tumbuh cantik, bersih, aktif, dan tidak merasakan kekurangan kasih sayang sama sekali. Sekalipun dirawat oleh keluarga baru.

"Hebat banget ini Pa udah bisa jalan. Iya ya?" kata Dika mengajak Ara ngobrol yang hanya dijawab oleh tawa anak itu.

Dika gemas. Ia menurunkan kepalanya tepat di depan perut balita itu dan menggelitikinya. Tidak lama tawa Ara semakin menjadi-jadi. Papanya selalu melakukan hal iseng itu.

Kehangatan antara ayah dan anak itu terusik saat tiba-tiba Vita, ibu Dika, menyapa anaknya.

"Dika udah pulang?" tanyanya basa-basi.

"Udah, Ma. Ma, Mama tau? Ara udah bisa jalan!!" Dika paling exited menceritakannya.

"Oh ya? Bagus dong." Hanya seperti itu tanggapan Vita membuat seketika senyum Dika luntur. "Kasih Ara ke pengasuhnya, Dika. Kamu istirahat gih," lanjut ibunya.

Dika mengangguk patuh.

"Nanti aku ambil Ara lagi ya, Mbak."

Lantas Irene mengiyakan lalu ia berlalu dari ruang tengah itu. Membawa Ara ke kamar bayi itu untuk bermain bersamanya.

"Dika, masuk kamar ya Ma."

Vita menahan langkah anaknya yang hendak pergi.

"Bentar, Mama mau bicara sama kamu."

"Mau bahas apa?" tanya Dika.

"Kamu sudah hampir satu tahun mengadopsi Ara, apa tidak ada kabar dari orang tuanya?" tanya Vita.

"Ara memang gak diinginkan sama orang tuanya, Ma. Sampai detik ini aku gak nemu ada orang yang tiba-tiba ngaku kalo dia orang tua Ara. Malah yang ada orang-orang yang kepengen adopsi Ara. Padahal aku udah bikin kesepakatan sama pihak rumah sakit itu buat jangan hubungin aku lagi karena aku mau merawat Ara tanpa diganggu."

Ideal Papa✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang