38

261 32 5
                                    

Rumah keluarga Dika yang di Jogja bahkan lebih besar dari rumah Fatih. Budaya Jawa masih kental sekali di sana. Alisha masih belum terbiasa dikelilingi orang-orang yang ngobrol pakai bahasa full Jawa, termasuk suaminya sendiri. Dika suka lupa melepaskan dialek Jawanya itu saat berbicara dengan Alisha yang pada akhirnya hanya bisa diam kebingungan.

Dika dan Alisha melewati kumpulan banyak orang yang ada di ruang tengah usai mengganti pakaian. Sebentar lagi akan berlangsung acara pengajian untuk ulang tahun kakekDika sekaligus mendoakan tujuh bulanan kehamilan Alisha. Mengingat tadi pagi sudah berlangsung meriah acara mitoni, kini lebih terfokus pada rangkaian acara yang islami guna untuk menunjukkan rasa syukur pada Sang Pencipta, selain pengajian, ada pula penyantunan pada anak yatim-piatu dan dilanjutkan nanti malam ada kenduri. Bagi Alisha yang sedang hamil besar, jelas ini cukup melelahkan.

Pasangan suami-isteri itu kompak memakai pakaian berwarna sage green. Alisha cantik dengan gamis brokat lengkap dibalut kerudung, serta Dika gagah dan tampan memakai kemeja senada dengan baju istrinya dan celana panjang hitam. Keduanya tersenyum pada para tertua di rumah itu yang duduk di sekeliling mereka.

Pandangan Alisha terus mengedar seperti mencari-cari seseorang. Ia terus bergerak gelisah. Jika ingin tahu dia mencari siapa, maka jawabannya adalah Ara. Diantara banyaknya orang seperti ini justru sosok Ara tak dapat ditemukan, Alisha takut anaknya main terlalu jauh ia tidak tahu arah pulang ke rumahnya, atau yang terburuk anak itu misal diculik.

"Kenapa? Bingung ya karena rame banget?" tanya Dika.

Alisha menggeleng. "Ara mana, Mas?"

Otomotis Dika pun terpanjat. Sama seperti Alisha, ia jadi panik. Pasalnya, Dika sejak tadi ada terus bersama istrinya itu.

"Ma, Ara nang ngendhi? Ket mau ora ketok-ketok o," kata Dika pada ibunya yang tengah serius ikut melafalkan doa-doa dalam pengajian itu.

(Ma, Ara di mana? Dari tadi gak kelihatan)

"Yo mboh. Tilikin sadelo kono," kata Vita.

(Gatau. Cari dulu sana)

Namun, ada satu suara yang menahan langkah Dika yang hendak beranjak.

"Kui lho Ara-mu ing kolam ikan koi melu konco-konco'e." Novi, adik bungsu ayah Dika yang menjawab mampu membuat Dika bernafas lega.

(Itu lho Ara-mu di kolam ikan koi ikut temen-temennya.)

"Nggih Bulik. Suwun."

(Iya, bulik. Makasih)

Dika melirik istrinya kembali. Mengusap pinggangnya.
"Di belakang sini, Yang. Lihat ikan koi."

"Sendirian?" tanya Alisha.

Dika menggeleng. "Nggak kok. Banyak temennya."

Lalu, pada diam lanjut mengikuti pengajian.

"Capek gak Ca?" tanya Dika

"Lumayan. Pinggangku lho ini, sakit," jawab Alisha sembari memijat pinggangnya. Ia pun merasa kalau anaknya memang sudah dibawah jalan lahir sehingga tekanan dari bagian bawah semakin melelahkan.

"Sakit tah?" tanya Dika.

Alisha mengangguk. "Pijetin."

"Ngapusi opo ora?" kata Dika dengan sengaja memakai bahasa Jawa agar istrinya kesal.

(Bohong apa enggak?)

Sontak Alisha melirik sinis.
"Nyarios naon?"

(Ngomong apa?)

Ideal Papa✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang