13

344 39 7
                                    

Melihat tempat tidur seperti surga yang sangat dinanti-nanti. Itu Dika setelah resmi bekerja di perusahaan ayahnya. Ia merebahkan tubuhnya dan bernafas panjang setelah seharian dibuat sesak dan pusing.

Banyak rapat yang ia hadiri. Bertemu pengusaha-pengusaha hebat acapkali membuat Dika merasa paling fakir ilmu perihal bisnis. Belum lagi tumpukan berkas yang harus dicek dan ditanda tangani, mampu membuat jari-jemari Dika kebas dan mati rasa.

Tidak ada lagi Dika yang suka nongkrong sampai lupa waktu. Tidak ada lagi Dika yang rela membuang waktunya berjam-jam untuk menemani sang anak bermain.

Papa dan Mamanya tepat satu minggu yang lalu pergi ke Bali. Mereka memutuskan berlibur ke sana sampai waktu yang belum ditentukan, sementara itu menurunkan semua pekerjaan yang setiap hari jadi makanan sehari-hari pada putra tercinta.

Sekitar dua puluh menit sudah lelaki itu sekedar merilekskan tubuh di tempat tidurnya. Untuk semakin menghilangkan kepenatan, lelaki itu bergegas mandi. Setelah ini ia juga harus memanggil Ara yang ia tahu pasti sedang berada di kamar Iren dan suami.

Kini kamar pria itu kembali ke dekorasi awal. Saat sebelum mempunyai anak. Dibiarkan berwarna hitam, putih, dan abu-abu yang banyak mendominasi.

Tapi ada yang sedikit aneh. Harusnya Mbak Iren sudah ada di ruang tengah bersama Ara untuk menyambut Dika seperti hari-hari sebelumnya. Mbak Iren selalu menemani balita itu untuk menunggu berjam-jam ayahnya yang pulang kerja terkadang paling cepat jam tujuh malam dan selambat-lambatnya jam sepuluh malam Dika baru ada di rumah. Malam ini tidak ditemukan pemandangan Ara yang bermain-main di ruang tengah. Makanya tadi Dika langsung menuju ke kamarnya.

Tok!Tok!Tok

Dika melipat kedua tangannya di atas dada, menunggu di depan kamar Iren yang sudah berulang kali diketuk-ketuk pintunya. Memang selalu lama Iren membuka pintu kamar kalau ada yang menyambanginya. Terkadang Dika mendengar suara indah yang mengalun merdu membacakan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an dari dalam kamar itu. Ataupun kalau benar-benar lama sekali tidak dibukakan pintunya maka bisa ditebak kalau Iren sedang tidur. Ia sudah hapal semua kebiasaan Iren. Sesering itu Dika mengunjungi kamar pengasuh bayi yang sudah ia anggap seperti kakak kandungnya itu.

Pintu terbuka.

"Mas Dika. Ada apa ya, Mas? Maaf Mbak tadi tidur makanya gak dengar." Nah, sudah dibilang. Dika tidak bereaksi yang terlalu berlebihan atas jawabannya.

"Ara mana, Mbak?" tanya Dika tidak basa-basi. Tujuannya ke kamar Iren memang untuk membawa Ara.

Namun, justru Iren seperti terheran-heran dengan pertanyaan Dika.

"Lho bukan Mas udah tau? Ara kan dibawa dari pagi sama Mbak Alisha, Mas. Kata Mbak Alisha udah ngomong ke Ibu kok. Jadi mungkin udah ngomong ke Mas Dika juga makanya Mbak biarin Ara dibawa sama Mbak Alisha, Mas Dik," jawab Iren.

Dika spontan melebar kedua indera penglihatannya. Sangat terkejut. Enak saja ada yang membawa-bawa putrinya seenak itu. Tidak ada bicara padanya terlebih dahulu, tapi malah ke ibunya yang notabenenya tidak terlalu peduli dengan Ara sekalipun sudah menerimanya sebagai cucu di kediaman Fathailah sekarang. Pun, si Alisha ini siapa sih, Dika saja baru satu kali bertemu dengannya, saat di pesta wisudanya itu.

"Mama juga gak ada ngasih tau aku, Mbak. Yasudah aku jemput Ara dulu ya, Mbak. Tolong lihatin rumah." Lantas Dika berlalu dari kamar Iren dengan air muka yang sudah gelisah tak menentu.

Dika terlihat menelepon seseorang.

Tepatnya sekretaris ayahnya untuk memberikan alamat rumah keluarga Surendra padanya saat ini.

"Tolong share location rumah Pak Indra ke saya sekarang."

Ya Dika tahu kalau anak Pak Indra yang bungsu itu sangat menyukai anak kecil tapi tidak sembrono seperti ini juga membawa anak orang lain bertandang ke rumahnya padahal belum meminta izin pada orang tua anak yang dibawanya. Kasarnya malah terlihat seperti sedang melakukan aksi pencurian anak.

Ideal Papa✔️ [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang