Bab 7: Pria kepala batu

53 8 0
                                    


Sudah seminggu Zahra terbaring di Blankar rumah sakit. selang infus tetap setia menancap di punggung tangan kirinya.

Tak lama seorang dokter berjas putih dengan stetoskop yang melingkar di lehernya, disusul oleh seorang suster mendatangi ruang rawat Zahra.

Beberapa menit dokter dan suster itu mengecek keadaan tubuh Zahra.

"Alhamdulillah, sudah membaik, ya sekarang," ucap dokter tersebut setelah memeriksa suhu tubuh, tensi darah, detak jantung dan pemeriksaan lainnya.

"Alhamdulillah, Dok." Zahra tersenyum bahagia.

"Besok bisa pulang," ucap dokter itu ramah.

Tak lama dokter dan suster beranjak dari ruangan rawat Zahra.

Ponsel yang Zahra taruh di atas nakas bergetar. Ia meraih benda tipis itu dan melihat ada notifikasi pesan dari Ali.

Ali :
Zahra, gimana keadaan kamu?

Cih, kamu? biasanya juga lo.

Zahra memilih tak membalas pesan itu. Ia merasa Ali mulai mengusik ketenangan hidupnya. Setiap Ali menatap wajahnya, ia selalu merasa sangat risih.

Ali bertubi-tubi menyerang Zahra dengan puluhan pesan yang isinya sama.

Ali :
Gimana kabar lo? Sombong amat.

Zahra memutar bola matanya malas.

Me :
Baik.

Ali :
Gue boleh jenguk lo?

Me : 
Enggak. 

Ali :

Enggak boleh nolak niat baik seseorang.

Me : 
Enggk usah kesini.

Ali :
Mau kesana.

Me :
Jangan kesini

Ali :
Mau!

Me :
Jangan!

Ali :
Mau kesana titik!

Pria kepala batu!

Zahra mematikan layar ponselnya dan mengembuskan napas kasar. Ingin rasanya ia membanting ponselnya.

Tak lama ponselnya bergetar, ia mendapat panggilan telepon dari seorang psikiater muda yang membantunya untuk sembuh dari gangguan PTSD akibat kejadian menakutkan yang pernah ia alami beberapa bulan silam, saat ia masih menjadi murid di MA Al-Falah. Kejadian itu membuat Zahra memutuskan untuk pindah ke MA Al-Ghazali.

Setelah bertukar kabar dan cerita dengan psikiaternya, Zahra kembali menaruh ponselnya di atas nakas.

Johan yang sedari tadi duduk di sofa, melangkahkan kakinya mendekati brankar Zahra. "Zahra?" Johan menyentuh puncak kepala putrinya.

"Iya, Pa?" Zahra tersenyum ke arah Johan yang menatapnya hangat.

"Papa boleh keluar sebentar? soalnya ada urusan bisnis yang harus Papa urus, Nak," ucap Johan sambil membelai rambut Zahra penuh sayang.

"Iya, Pa. Papa hati-hati ya. Jangan telat makan."

"Bentar lagi, Bi Sari datang untuk jagain kamu."

Bi Sari adalah asisten rumah tangga di rumah Johan.

Tak lama Johan beranjak keluar dari ruangan itu.

Beberapa saat kemudian, Zahra mendapati puluhan pesan dari Ali, isi pesan di dalamnya sama.

AzzahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang