Bab 37: Miris

25 5 5
                                    

Malam dan hujan, dua elemen yang membuat seorang Azzahra jatuh ke dalam ruang kenangan satu minggu yang lalu, tatkala Ali tiba-tiba muncul saat ia sedang mendatangi pusara dyana.

kedua tangan gadis berpiyama hitam dan jilbab instan pink itu memegang pembatas balkon kamarnya. Ia menengadahkan kepalanya ke langit, menatap atraksi tetesan hujan yang menyerang permukaan bumi.

Zahra menghembuskan napas kasar. Belajar dari kejadian satu minggu lalu, ia bertekad untuk menghindar dari apapun yang bisa memantik rasa takut akibat traumanya. termasuk menatap tanggal wafat Dyana, yang sama persis dengan tanggal kejadian kelam di masa lalunya.

Suara dering ponsel yang berada di atas meja memecahkan lamunan Zahra. Ditatap olehnya pesan Whatsapp dari nomor tak dikenal.

+62-878-××××× :

Assalamu'alaikum, Azzahra. Ini gue, Abidah Al azizah.

Save, ya!

Seketika Zahra terkesiap hingga ponsel di tangannya hampir mendarat ke lantai, untung dengan sigap ia menangkapnya di udara.

Dari mana Abidah mendapatkan nomornya?

Semenjak Zahra angkat kaki dari sekolahnya dulu yaitu, MA Al-falah. Ia mengganti nomornya agar teman-temannya tak menghubunginya. Teman-teman? Tidak! Bahkan semenjak kejadian itu, ia mendadak kehilangan teman-temannya di MA Al-Falah.

Zahra menaruh kembali ponselnya, lalu melangkah menuju dapur.

membuat mie disaat hujan sepertinya enak, pikirnya.

di tengah perjalanan menuju dapur, tak sengaja Zahra mendengar suara gelak tawa yang berasal dari kamar Tante dan Om nya. ya, Rita dan Ray.

karena penasaran, Zahra mendekatkan telinganya ke pintu ke kamar yang tertutup rapat tersebut.

yang didengar oleh Zahra adalah celotehan Ray yang begitu bahagia mendapatkan kejutan berupa berita kehamilan Rita. pasangan muda itu akan dianugerahi seorang anak.

Zahra tersenyum bahagia sekaligus miris. Ia bahagia mengingat dirinya akan memiliki sepupu, sekaligus ia miris mengingat dirinya adalah anak yang tak diinginkan kehadirannya oleh ibunya, bahkan ibunya ingin ia enyah dari muka bumi. beda sekali dengan anak yang dikandung oleh Rita.

************

Para mahasiswa berhamburan keluar kelas. tersisa Ali yang duduk dengan pikiran yang entah ada di alam mana.

"Astagfirullah," Ali terkesiap ketika tiba-tiba Bilal sudah berdiri di sampingnya dan menepuk kepalanya dengan buku tebal.

Ali mendongakkan kepalanya ke wajah Bilal. "Ngapain sih, lo?!" tanyanya dengan sangat tidak santai.

Bilal tersenyum miris, seolah-olah tahu masalah yang berkecamuk di pikiran Ali. "Sampai sekarang belum dapet restu?"

Ya, hingga saat ini Ali belum mendapatkan restu dari Asiyah untuk mengkhitbah Zahra. Ibunya keukeuh tak ingin memiliki menantu seorang Zahra. Padahal Muaz dan Ali telah meyakinkan dengan sekuat tenaga.

Ali melipat kedua tangannya di atas meja, lalu membenamkan kepalanya. pusing! ia pusing memikirkan akan kemana arah hubungannya dengan Zahra jika tidak diridhai oleh Asiyah, sekaligus memikirkan penyebab Zahra berteriak ketika menatap wajahnya satu minggu lalu.

"Umi lo enggak ngasih restu pasti ada alesannya. Gue yakin, alesannya demi kebaikan lo."

Ali mengangkat kepalanya dan menatap Bilal. "Demi kebaikan apanya? Umi gue enggak ngerestuin gue untuk khitbah Zahra, karena tau ibunya Zahra selebgram. Padahal gue nikahnya sama Zahra, bukan sama ibunya. Gue yakin, Zahra itu cewek baik-baik, walaupun ibunya kaya gitu!"

Bilal duduk di kursi yang ada di samping Ali. "Hmm... Gue bisa narik pelajaran penting dari runyamnya kisah cinta lo. Ternyata pernikahan itu bukan hanya menyatukan dua manusia, tapi juga menyatukan dua keluarga besar dengan latar belakang yang berbeda. Proses menyatukan dua sejoli mah gampang, karena dua sejoli sudah saling cinta dan enggak peduli apapun, yang penting bisa bersatu."

Bilal menghela napas. "Yang susah adalah menyatukan dua keluarga."

"Yes! dan Umi gue ngerasa kalau keluarga Zahra terlalu hitam untuk keluarga gue yang putih. Umi gue maunya gue nikah sama anak ustad, karena Abi gue ustad. Umi gue terlalu sombong!"

"Ssttt... Pamali gibahin ibu sendiri!"

Ali menggeram kesal dan menjambak rambutnya seperti orang frustasi. Garis wajahnya bak benang kusut.

Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel. Ali merogoh ponsel dalam saku celananya. ia mendapatkan panggilan telepon dari teman satu organisasinya.

"Gue harus kumpul organisasi, nih. Beberapa minggu lagi bakalan ada lomba MTQ."

Tanpa menoleh ke arah Bilal. Ali beranjak ke luar kelas.

Bilal merasakan getaran di ponsel yang sedari tadi ia genggam. Ia mendapatkan pesan dari Abidah.

+62-878-××××× :

Eh, Bilal! Lo ngasih nomor palsu ke gue, ya? Nomor yang lo kasih nomor Zahra atau bukan? Kok Zahra enggak ngebales sih?

AzzahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang