Bab 36: Memori yang terngiang kembali

27 5 0
                                    

Pukul 17.00, motor Ali kini sudah nangkring di depan kosan Bilal. Pria itu turun dari motor, lalu mendorong pintu kamar Bilal.

Setelah tiba di dalam kamar Bilal, ia menaruh kantong plastik bawaan nya di atas meja, lalu langsung merebahkan dirinya di atas kasur lantai milik Bilal.

Bilal yang duduk selonjoran di lantai dengan laptop yang ada di atas pahanya, menoleh ke arah Ali.

"Nggak sopan!" Bilal mencibir pria yang masuk ke dalam kamarnya tanpa mengetuk, dan langsung menikmati kasurnya.

"Eh, gue lupa bilang salam!" Ali meloncat dari kasur, lalu melangkah keluar kamar, seketika Bilal mengerutkan keningnya.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh!" Ali masuk kembali ke dalam kamar Bilal.

Seketika Bilal menepuk jidatnya. "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh! terlambat keleuz!"

Ali mengambil kantong plastik yang tadi ia bawa, lalu duduk selonjoran di samping Bilal.

"Gue bawa makanan buat lo, nih." Ali meraih satu bungkus nasi padang di dalam kantong plastik tersebut, lalu menyerahkannya ke tangan Bilal.

"Gue minta maaf, karena tadi pagi ninggalin lo di pinggir jalan, dan lebih memilih untuk pergi ke rumah Zahra," ucap Ali.

Bilal menutup layar laptopnya, lalu menaruh laptop tersebut.

"Gimana kelanjutan hubungan lo sama Zahra?" tanya Bilal sambil membuka karet yang membungkus nasi padang.

"Tinggal nunggu restu dari Umi."

"Lo serius mau nikah muda? emang udah siap?" Bilal mulai menginterogasi sahabatnya.

Ali menghela napas sambil menyandarkan punggungnya ke dinding dibelakangnya. "Menurut lo, gue udah siap belum?"

Bilal mendengus kesal. "Kebiasaan! ditanya malah balik nanya!"

"Sebenernya, gue belum siap di finansial. Walaupun Abi gue udah ngomong kalau biaya nikah, kuliah dan kebutuhan sehari-hari gue dan Zahra bakal ditanggung semua sama Abi. Gue tetep harus cari uang, karena gue wajib kasih nafkah buat Zahra. nggak mungkin gue sama Zahra nebeng sama orang tua." pikiran Ali mulai menerawang jauh.

"Gue harus secepatnya cari kerjaan yang nggak ganggu jadwal kuliah."

Bilal mulai menangkap kegelisahan dari raut wajah Ali.

"Selain finansial, ada lagi?" Bilal mulai antusias dengan topik yang kini tengah dibahas.

"Lo kayak wartawan, nanya-nanya mulu!" Ali meninju pelan lengan Bilal. "Makan aja dulu."

Bilal mulai melahap nasi padang di tangannya. "Lo nggak makan?"

Ali menggelengkan kepalanya. "Gue udah kenyang karena seharian ini disuguhkan senyuman Zahra."

"Mulai deh!" Bilal melempar daun singkong ke wajah Ali. "Kalau GERD lo kambuh karena telat makan, jangan nangis kejer sambil nyubitin kulit gue!"

Ali tertawa terbahak-bahak. Ya, Bilal sudah sangat hafal sosok Ali. 6 tahun bersahabat dengan pria itu membuat Bilal mengerti kehidupan Ali, termasuk riwayat penyakit Ali.

"Gue nggak bisa ngebayangin, gimana nantinya kalau lo sama Zahra nikah, terus nggak lama Zahra hamil. Masa Zahra ngampus dengan perut bunci? terus gendong bayi ke kampus gitu?"

Mendengar perkataan Bilal, Ali senyam-senyum sendiri.

"Ya nggak lah! selama kuliah jangan punya anak dulu. Gue maunya Kayak orang pacaran dulu. Nggak usah serius-serius amat kaya pasutri."

AzzahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang