Bab 52: Dedek Aliza.

30 4 0
                                    


Zahra turun dari angkutan umum. Pria misterius itu tak ikutan turun. Setelah membayar ongkos, dengan tubuh yang masih gemetar, Zahra berlari memasuki kawasan perumahan tempat tinggalnya. Angkutan umum tidak melintas sampai ke depan rumahnya.

Di perjalanan menuju rumah, Zahra sesekali menengok ke belakang untuk memastikan pria berbaju serba hitam itu tak mengekor di belakangnya. Ia mengembuskan napas lega sambil mengelus dadanya karena tak ada orang di belakangnya.

Sejujurnya, dalam hati terdalam, ia masih dihantui oleh firasat buruk, entah kenapa ia sangat yakin pria itu sedang memata-matai dirinya. Anehnya, dalam hati, tiba-tiba Zahra berdoa semoga ia tak berjumpa kembali dengan pria itu.

*******

Menu makanan telah tersaji di atas meja makan. Zahra duduk di kursi. Telapak tangannya mengelus lembut perutnya yang terlihat agak buncit.

Zahra tersenyum bahagia ketika teringat ia akan menjadi seorang Umma diusia muda. Namun, sejujurnya, ia ketar-ketir membayangkan bagaimana repotnya ketika buah cintanya bersama Ali telah lahir. Siapa yang akan mengurus bayinya ketika ia berada di kampus? Bagaimana caranya membagi waktu antara kuliah dan mengurus bayinya?

Zahra mengembuskan napas panjang. Lihatlah, wajah bumil 19 tahun itu dihiasi  aura cemas.

"My sweet heart, kamu doain Abamu selalu, ya, Nak," ucapnya seraya mengelus perutnya. Telapak tangannya mengalirkan cinta.

Tak lama terdengar suara derap langkah kaki dan suara roda-roda dari barang yang entah barang apa.

Pandangan Zahra beralih ke muka pintu dapur yang setengah terbuka. Tak lama pintu berwarna cokelat itu terbuka lebar, dan menampilkan sosok Ali dengan kereta bayi yang ia bawa.

"Assalamu'alaikum, Habibati," salam Ali lalu mendorong kereta bayi berwarna pink itu ke arah Zahra.

"Wa, wa, wa, 'alaikumussalam," jawab Zahra terbata-bata sambil melangkah mendekati kereta bayi. Ia terpaku. Ia membeku di tempatnya. Ia tak menyangka Ali membeli kereta bayi. Bukan karena barang itu mahal, melainkan karena Ali begitu matang mempersiapkan kebutuhan untuk buah hatinya yang masih dalam rahim.

Zahra menyentuh kasur di dalam kereta bayi karakter unicorn itu. Terbayang olehnya bayi mungilnya terbaring di atasnya.

"Ini buat Dedek Aliza," ucap Ali mendekat ke depan tubuh Zahra.

"Hah? Siapa Aliza?" dahi Zahra mengkerut. Jadi kereta bayi ini bukan untuk buah cintanya?

Ali tertawa melihat ekspresi bingung Zahra, lalu menarik tubuh istrinya untuk ia dekap.

"Aliza, singkatan Ali Zahra," ucapnya. Ia mengecup puncak kepala Zahra. Semerbak aroma lembut dan manis dari rambut Zahra menyeruak ke dalam indra penciumannya. Jujur, selama menjadi suami Azzahra, penciuman Ali tak pernah kenal aroma tak sedap ketika dekat dengan istrinya.

Zahra mendongak, lalu mengigit lembut pipi Ali yang kini tembam.

"Awh," Ali meringis lalu melepas dekapannya. "Pipi itu untuk dici*um, bukan digigit!" ia mengelus pipi sebelah kirinya.

"Gemesh! Sejak kapan jadi chubby gini, sih?" ia menarik kedua pipi Ali hingga melebar.

"Sejak menikah dengan Azzahra, gadis galak dan dingin yang harusnya tinggal bersama penguin kutub utara."

"Enak aja! Dasar Ali tengil, cowok dengan kepala terbuat dari batu di zaman paleolithikum! Wlek!" Zahra mencubit perut Ali dan menjulurkan lidahnya ke wajah Ali sebagai ejekkan.

Tak lama Zahra ngacir keluar dapur sebelum Ali memangsanya. Ya, betul saja, Ali mengejar Zahra dan menangkapnya dari belakang. Kedua tangannya melingkari pinggang Zahra. Sebagai balasan, leher istrinya ia gigit pelan.

*******

Hari ahad. Ali mengantar Zahra ke rumah Yuna. Zahra ingin mengerjakan tugas kuliah di rumah temannya itu.

"Assalamu'alaikum," salam Zahra kemudian mencium punggung tangan Ali.

"Wa'alaikumussalam. Nanti pulangnya minta anter Yuna. Abang enggak bisa jemput karena harus kerkom di rumah temen."

"Oke."

Zahra membuka pintu mobil kemudian melenggang masuk ke dalam rumah Yuna.

*********

Pukul 17.00, di dalam mobil yang terparkir tak jauh dari stasiun, Ali duduk dengan punggung bersandar lemas di sandaran jok mobil. Ia memijat pelipisnya. Rasa pening menyerang kepalanya. Ia memejamkan matanya dan teringat wajah Zahra. Tiba-tiba rasa itu menguap dan ia mendadak kuat lagi.

Rasa cinta, membuat Ali memiliki energi super.

Tiba-tiba terdengar dering dari ponsel, Ali mendapatkan orderan. Setelah menyetujui orderan dari penumpangnya itu. Ia menerima panggilan telepon dari ayahnya.

[Asalamu'alaikum, Ali.]

"Wa'alaikumussalam, Abi."

[Kenapa Zahra belum pulang? Sejam yang lalu Abi kirim pesan ke Zahra, dia membalas sedang diperjalanan pulang. Tapi sampai sekarang belum tiba di rumah.]

Deg.

Degupan aneh menekan jantung Ali.

Ali mematikan panggilan telepon secara sepihak. Tangannya gemetar mencari nomor kontak Zahra. Ia lalu menelepon Zahra. Sayang, tak ada jawaban.

Ali menyerang Zahra dengan puluhan pesan. Namun, pesan yang ia kirim menunjukkan satu centang berwarna abu.

Ia menelepon Yuna.

"Assalamu'alaikum, Yun. Dimana Zahra? Tadi lo anter dia pulang kan?"

[Wa'alaikumussalam. Maaf, ya, Li. Sekitar dua jam yang lalu, Zahra keluar dari rumah gue. Dia bilang mau jengguk ibunya di tahanan. Gue tadinya mau anterin dia. Tapi, tiba-tiba ibu gue penyakitnya kambuh, jadi gue harus anter ibu gue ke UGD.]

********

Terima kasih.

AzzahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang