Bab 44: Nasihat Abi.

32 4 2
                                    

Ali dan Zahra tampak menikmati pemandangan gemerlap Jakarta. Keduanya menarik napas dalam-dalam, menghirup hawa sejuk yang menyelimuti bumi.

Kini, mereka telah berada di sebuah restoran yang berada di atap. Keluarga Ali belum datang, jadi mereka menunggu di depan pembatas rooftop.

Lampu-lampu kota yang menyala ikut menyalakan sesuatu dalam diri Zahra. Tentang masa lalunya. Ia menoleh ke arah Ali. Pria itu memandang lurus ke depan dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya.

"Ali...," panggil Zahra pelan.

"Hmm...." Ali menengok.

"Ada rahasia yang belum lo tau tentang diri gue."

"Apa?" tanya Ali antusias.

Zahra menatap rembulan di atas langit. Sinar penuh rembulan membuat mata cokelat Zahra terlihat jelas.

"Kalau lo tau masa lalu kelam gue, apakah lo bakal tetap sayang sama gue?"

Ali mengikuti arah pandangan Zahra. "Masa lalu kayak gimana?"

Sebenernya Ali sudah tau masa lalu itu. Tapi, ia sangat ingin gadis introver di sampingnya bercerita. Jika ada orang yang bercerita dengan merdunya di hadapan Ali, maka ia adalah Azzahra. Suara yang terlontar dari bibirnya membuat Ali candu.

Zahra menghela napas. Wajahnya berubah pias dan kepalanya tertunduk. Ada rasa sesak yang menghinggapi dadanya. Pasalnya, hal yang akan ia ceritakan adalah sebuah pilu, yang mana, ia harus membuka luka setiap kali akan menceritakanya.

"Gue dulu pernah menjadi korban pele*ehan se*sual di MA Al-falah. Kejadian itu membuat gue sempet kena gangguan mental." Zahra memejamkan matanya kuat-kuat, berusaha menahan air matanya yang memberontak ingin keluar.

Ali menoleh ke arah Zahra. Ia menelan ludahnya susah payah. Tubuhnya menegang.

Kedua bahu Zahra bergetar, ia tetap menahan gejolak dalam hatinya. "Hal yang bikin gue tambah terpuruk yaitu, sahabat gue memfitnah gue ke semua anak-anak Al falah. Dia berkata kalau gue udah enggak suci dan gue hamil. padahal kenyataannya gue keburu diselamatkan oleh seseorang. Walaupun sebagian tubuh gue udah...." Zahra tak bisa melanjutkan ucapannya. dadanya sesak seperti terhimpit beton. Pertahanannya runtuh, air matanya meluncur deras membasahi pipinya. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Terkadang manusia butuh masa lalu kelam untuk mendewasakan." Ali berkata lembut. Zahra menurunkan kedua tangannya dan menatap wajah Ali. Lekuk wajah Ali yang lembut dan manis, membuat rasa pedih di dada Zahra berkurang.

"Maafin gue, ya, Li. Gue lemah! Gue selalu nangis di depan lo." Zahra menyeka air matanya dan menarik napas dalam-dalam.

"Di depan gue, lo boleh ngeluarin semua emosi yang lo rasain. Lo boleh nangis, ketawa, bahkan marah sekalipun. Lo bisa jadi diri sendiri di depan gue. Tanpa perlu memasang topeng dan pura-pura bahagia." Ali melebarkan senyumannya.

"Gue sempet bilang, Allah itu enggak adil, Allah jahat, dan Allah nyiksa. Cobaan gue berat dan bertubi-tubi. Gue pernah jadi pasien dokter jiwa, dikhianati sahabat sendiri, kehilangan Oma yang ngurus dari bayi, kehilangan Papa, kehilangan Mama yang masuk penjara...."

Ali menginterupsi ucapan Zahra. "Ujian dari Allah sesuai level hambanya, Ra. Ujian yang berat bikin derajat lo mulia di sisi Allah. Allah itu adil, tapi Orang-orang selalu ingin melihat bentuk keadilan secara kasat mata. Padahal, keadilan dari Allah itu banyak bentuknya. Keadilan Allah tidak selalu dapat dilihat pada saat itu juga. Terkadang, keadilan Allah tersimpan dalam misteri langit, sebagai lahan untuk menguji keberprasangkaan baik manusia."

Hanya melihat senyum Ali, rasa sedih dan takut di dada Zahra merangkak pergi. Angin disekitarnya menggelitik wajah Zahra yang kali ini tidak terbingkai kacamata.

"Gue enggak peduli sama masa lalu lo. Apa yang dipedulikan seorang pecinta selain mencintai?" Rambut hitam Ali bergerak pelan ditiup angin.

Zahra tersenyum cerah.

"Li, kok Ali rese."

"Rese kenapa?"

"Bikin jantung Zahra deg-degan terus!" Zahra memukul-mukul pergelangan tangan Ali dengan tasnya.

"Aduh, KDRT ini namanya!" Ali berusaha menahan tas Zahra yang mengenai tubuhnya. Namun, Zahra tak henti-henti memukul tubuh Ali dengan tasnya.

"Nyebelin!"

Tiba-tiba Muaz datang menghampiri. "Kalian lagi apa?"

Sontak, Zahra dan Ali membalikkan tubuh mereka menghadap Muaz.

"Eh, Abi." Ali mengaruk tekuknya yang tidak gatal.

"Zahra lagi galak, Bi." Ali menatap Zahra sambil cengengesan.

"Enggak boleh terlalu dekat. Bahaya lho." Muaz memperingatkan.

**********

Di salah satu meja restauran terlihat Muaz, Asiyah, Adik Muaz, Ali dan Zahra. Mereka tampak hanyut dalam kunyahan di mulut mereka.

Mata Zahra senang menyisir setiap ornamen yang menghiasi restauran. Lampu-lampu hias membuat suasana terasa romantis, pun seseorang yang duduk di sampingnya, membuat suasana semakin romantis.

Zahra tersenyum manis melihat Ali. menyadari Zahra yang menatapnya, Ali pun menatap gadis itu.

Garis-garis wajah yang manis. Namun, tegas. membuat Ali terlihat buas saat menatap Zahra. Tak usah dijelaskan lagi keadaan jantung mereka. Jantung mereka sedang sibuk disko.

"Ini bocah dua malah lirik-lirikan! Hei, ingat zina mata!" ucap tante Ali bernama Mira sambil menggebrak meja di depan Ali.

"Apaan, sih, Tante. Sirik aja!" Ali bersungut-sungut. Zahra menunduk malu. Rona merah tercetak jelas di pipi beningnya.

"Ali, kamu enggak mau kan hafalan Al-Qur'anmu hilang? Jaga mata dong," ucap Asiyah. Wanita berdarah aceh itu sudah memberi ridha kepada Ali dan Zahra, berkat bujukan Muaz.

"Ali, Zahra, Abi mau memastikan kepada kalian berdua." Muaz menaruh sendok yang sebelumnya ia genggam.

"Ali, apa alasan kamu mau menikahi Zahra?" tanya Muaz dengan raut wajah serius. Seketika hawa santai berubah mencekam bagi Zahra dan Ali.

"Karena Ali cinta sama Zahra dan ingin membuat Zahra bahagia." Ali menatap Zahra yang menunduk.

"Zahra, giliran kamu, Nak. Apa alasan kamu mau menerima Ali?"

Zahra meneguk ludahnya susah payah. Ketegangan mendera jiwanya. Ia menegakkan posisi duduknya. "Karena Zahra cinta sama Ali."

Muaz tersenyum lembut. "Menikah itu tidak cukup hanya dilandasi oleh rasa saling mencintai. Harus dilandasi oleh iman. Betapa banyak yang saling mencintai, tapi pernikahan mereka justru tidak berkah. Bahkan berakhir dengan cekcok maupun perceraian."

Muaz menghela napas. Zahra dan Ali fokus menatap wajah teduh Muaz. "Karena iman, Rasulullah sabar ketika di rumahnya hanya tersedia cuka lalu memakannya. Karena iman, Ali bin Abi Thalib sabar menjadi kuli menimba air dengan upah segenggam kurma. Karena iman, Fathimah Azzahra sabar menggiling gandum hingga tangannya melepuh."

Muaz tersenyum cerah. "Sungguh, pernikahan tak seindah apa yang dikatakan para motivator ataupun buku pranikah. Akan banyak cobaan dan ujian. Maka pahamilah, rasa cinta kadang tak ikut berperang. Hanya iman yang kuat dengan pedang kesabaran dikala susah, dan senjata syukur dikala senang, yang mampu menghadapi bala ujian dan cobaan. Oleh karenanya, boleh-boleh saja menikah karena saling mencintai. Namun, pastikan perasaan itu hanya menjadi makmum dan imanlah yang harus menjadi imamnya."

-----------------------

Krisannya kakak :)

Terima kasih banyak :)

Tinggalkan jejak di kolom komentar :)

AzzahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang