Bab 9: kegalauan Ali

34 7 0
                                    



Sesungguhnya Al-Qur'an akan sulit melekat pada ahli maksiat.

*********

Dor Dor dor

Pintu kamar santri digedor oleh petugas keamanan pondok untuk membangunkan santri dari tidur pulasnya.

Tubuh Ali menggeliat, pria itu merenggangkan otot-ototnya yang kaku. Pandangannya jatuh pada jam dinding di kamarnya, jarum jam bertengger di angka 03.00.

Ali turun dari ranjangnya lalu melangkah ke ranjang Bilal dan Irvan untuk membangunkan teman sekamarnya itu.

Ali mengambil alat mandi dan baju ganti di dalam lemarinya, lalu melangkah ke kamar mandi yang terletak dalam kamar tersebut. Pria itu membersihkan diri sebelum bercengkerama dengan Sang Illahi, walaupun diaduk dengan rasa kantuk, tetapi pria itu tetap memaksakan diri.

Langkah demi langkah para santri injakan untuk menuruni tangga menuju aula tempat shalat. Tak lama shalat tahajud pun mereka lakukan dengan penuh kekhusukan.

Setelah rutinitas tahajud, kegiatan berikutnya adalah menghafal Al-Qur'an sampai waktu subuh tiba.

Para santri mulai duduk berpencar, lalu membuka mushaf Al-Qur'an di genggaman tangan masing-masing.

Seperti dini hari sebelumnya, Ali selalu duduk di samping jendela yang terbuka, udara dingin yang menusuk kulitnya menjadi teman setia setiap menghafal. 

Ali fokus menatap ayat dan membacanya, satu ayat ia ulang 10 sampai 20 kali. Pria itu tidak akan pindah ke ayat berikutnya, sebelum ayat yang kini ia baca benar-benar melekat di ingatannya. Setelah pria itu merasa percaya diri sudah hafal satu ayat, mushaf pun ia tutup, kemudian ia mengulang ayat dengan menutup matanya, mencoba membayangkan ayat yang ia hafal.

Namun, entah setan dari mana yang mengusik Ali, tiba-tiba bayangan sosok Zahra terlintas di kepalanya.

Ali menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha membuang sosok gadis cantik itu di pikirannya.

"Astagfirullah ...." Ali menghela napas panjang.

Usai shalat Subuh berjamaah, para santri berkumpul bersama musrifnya masing-masing untuk dicek tahsin dan hafalannya.

Ali duduk di hadapan musrif bernama Ustad Ahmad, ia menyerahkan buku catatan hafalan ke tangan Ustad Ahmad dan mulutnya mulai bergerak.

"Audzubillahi minash syaitan rajim, bismillah rahman rahim ...."

Ali mulai melantunkan ayat suci Al-Qur'an yang sudah ia hafal. Ustadz Ahmad mendengarkan dengan seksama setiap ayat yang keluar dari mulut Ali.

Namun, saat Ali melafalkan ayat ke empat dari hafalannya, Ustad Ahmad menginterupsi. "Eh salah!" tegur Ustad Ahmad.

Ali mengulang kembali bacaannya,

"Salah! Kamu belum hafal Ali?" tegur Ustad Ahmad.

Ali menunduk dalam. "Belum Ustad," ungkapnya.

"Tidak biasanya kamu seperti ini! biasanya tiga lembar kamu setorkan, kenapa sekarang satu lembar saja tidak bisa?" sindir Ustad Ahmad. raut kekecewaan tampak jelas di wajah pemilik hafalan 30 juz itu.

"Maaf, Ustad." Ali termenung. Raut wajahnya tampak mendung.

"Jadi hari ini kamu cuma mau setor tiga ayat saja, ya." Ustad Ahmad menulis jumlah setoran yang Ali baca tadi di buku catatan hafalan.

************

Matahari mulai muncul dari ufuk timur. Kemilau Cahayanya menelusuri setiap sudut gelap bumi.

Pagi yang cerah, secerah senyuman dari sosok Azzahra yang tengah bercermin. Gadis itu tampak merapikan jilbab putih yang ia kenakan, lalu menempelkan sebuah bros mungil sebagai pemanis jilbabnya.

Setelah memastikan pantulan dirinya di cermin sudah terlihat rapi, Zahra berbalik badan lalu memasukkan buku-bukunya yang tergeletak di atas meja ke dalam ranselnya.

Sejenak, gadis itu terdiam memandang buku milik Ali di genggamannya. Ia membuka lembaran terakhir dari buku itu dan membacanya dengan teliti.

Solusi.

Ya, Solusi!

Kalimat di dalam lembaran itu tertulis bahwa Ali meminta solusi kepada Zahra terkait perasaan yang ia rasakan terhadapnya.

Zahra sendiri tak mengerti perasaan apa yang Ali rasakan. Gadis itu hanya bisa menduga bahwa perasaan itu adalah perasaan cinta.

Zahra tersenyum tipis ketika menyadari dirinya belum pernah merasakan cinta dan kini harus memberikan solusi kepada orang yang sedang jatuh cinta.

Sungguh, Zahra bukan gadis yang suka asal bunyi. Ia tak akan memberikan solusi, jika ia sendiri belum pernah mengalami.

******

Saat bel istirahat telah berbunyi. Zahra menghadap ke arah meja Ali di sisi kanannya.

"Ali," sapa Zahra kepada Ali yang duduk menghadap Bilal.

Sontak Ali memutar tubuhnya dan menghadap Zahra.

"Makasih, ya, bukunya," ucap Zahra menyodorkan sebuah buku bersampul cokelat ke arah Ali.

"Udah dicatat semuanya?" Ali menaikkan satu alisnya.

Zahra mengangguk.

"Halaman terakhir juga udah di catet?"

"Enggak lah!"

"Kenapa? oh ya, lo udah tau solusinya belum?"

"Enggak tau."

Zahra bangkit lalu berjalan ke luar kelas. Gadis itu merasakan suatu getaran di dadanya. Ia belum tau penyebabnya karena apa, tapi yang jelas getaran itu semakin kencang ketika berhadapan dengan Ali.

***********

Jam istirahat Ali gunakan untuk duduk santai sambil memeluk alat musik darbuka di ruang ekskul marawis. Hatinya terasa bengkak hari ini. 

"Gue cariin, ternyata lo ngegalau disini!" Bilal datang dengan senyum jahil lalu merangkul pundak Ali.

"Apaan, sih!" Ali melepaskan rangkulan Bilal. "Enggak galau!"

"Jangan bohong, gue tau lo galau gara-gara pas subuh tadi ditegur sama Ustad Ahmad 'kan?"

Ali menghela napas berat, kalimat yang dikatakan Bilal 100% benar.

"Sakit, ya, kehilangan hafalan itu. Lebih sakit dibandingkan cinta bertepuk sebelah tangan, hiks." Bilal terisak, pria itu jago berakting.

"Zahra! kenapa tadi muka lo hadir dipikiran gue pas gue lagi setoran Al-Qur'an, sih? Lo kalau kangen gue jangan dateng pas gue lagi hafalan, arghhh!" Ali menggerutu kesal sambil menjambak rambutnya sendiri.

"Bukan Zahra yang salah, tapi lo yang kalau ada Zahra enggak bisa jaga pandangan! Mata Lo jelalatan!" tegur Bilal.

AzzahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang