Bab 39: Restu orang tua adalah kunci

36 5 1
                                    


Pukul 08.00, Ali terkulai lemas di atas ranjangnya. Setelan baju Koko abu-abu, sarung hitam dan sorban melekat di tubuhnya. Usai salat subuh di masjid, ia langsung tak berdaya dan terkapar.

Penyakit lambungnya kambuh, karena satu minggu kebelakang ia sering terlambat makan. Penyebabnya? Karena ia terlalu disibukkan oleh kegiatan kampus. Terutama kegiatan di organisasi Himpunan Qori Mahasiswa.

Dua minggu lagi, Ali akan mewakili kampusnya untuk menyabet gelar juara di lomba Musabaqoh Tilawatil Qur'an (MTQ) tingkat kota.

Muaz membuka pintu kamar Ali. Ia melangkah ke jendela kamar putranya, lalu membuka gorden lebar-lebar, seketika cahaya mentari pagi berlarian masuk ke dalam kamar putranya yang awut-awutan. Sungguh, markas bujangnya tak pernah rapih.

Muaz duduk di tepi ranjang, ditatap olehnya wajah Ali dengan lamat. Pria itu tersenyum melihat wajah putra semata wayangnya yang ambisius. Namun sangat lugu dan tenang ketika terlelap.

Ali melenguh. Tubuhnya menggeliat dan kedua matanya mengerjap.

"Kamu ke dokter sekarang, ya? Enggak usah kuliah dulu," ucap Muaz ketika kedua mata Ali telah terbuka dan menatapnya.

"Iya, Bi." Suara Ali terdengar lemah. Ia beranjak duduk dan bersandar di sandaran tempat tidur.

"Semalem kamu ngapain ke rumah Zahra?" tanya Muaz. Raut wajahnya tampak tenang. Ekspresi Pria pendakwah sekaligus kepala madrasah ibtidaiyah itu selalu tenang dan enak dipandang.

"Nanyain hal penting, Bi," jawab Ali dengan jari telunjuk mengambil kotoran mata yang menempel di sudut matanya.

"Nanyain hal penting apa?"

"Keadaan Zahra," jawab Ali. "Hoam...." Mulut Ali terbuka dan mengeluarkan napas karena mengantuk.

Muaz tersenyum. "Tutup mulut kalau mau nguap," ucap Muaz tanpa amarah dan tetap lembut. Muaz begitu lembut walaupun sikap Ali terkadang diluar kesopanan.

Ah, Tuhan, hati Muaz itu terbuat dari apa, sih?

"Eh, iya, Ali lupa." Ali terkekeh.

"Lain kali, kalau mau ke rumah Zahra jangan malam-malam."

Ali mengangguk.

"Kapan Kita Khitbah Zahra, Bi?" tanya Ali.

Honestly, Ali tidak ngebet nikah, tapi ia terlalu takut Zahra akan dimiliki oleh pria lain. Secara, siapa sih yang tak terpikat pesona indah Azzahra?

"Kalau misalkan Umi tetap enggak merestui, terus Ali dan Zahra nikah, nikahnya sah 'kan, Bi?" lanjut Ali.

"Iya, sah." Muaz menatap manik mata putranya. Mata Muaz memancarkan kasih sayang.

"Yaudah, khitbah Zahra buru-buru, Bi."

Muaz tertawa kecil. "Kamu tuh ngebet nikah atau apa, sih? Tunggu Umi mu memberi ridha, karena-" Muaz sengaja menggantungkan ucapannya, agar Ali yang melanjutkan.

"Ridha Allah ada pada ridha orang tua?" Ali melanjutkan.

"Itu tau?"

Ali mengusap wajahnya kasar. "Iya, tapi Umi itu susah, Bi."

"Pernikahan yang harmonis bermula dari restu orang tua, dan restu orang tua lah yang membawa keberkahan yang sangat besar. Restu orang tua adalah kunci dan dasar kebahagiaan dalam pernikahan." Muaz memberikan wejangan kepada Ali.

Muaz memegang kedua bahu Ali. "Kamu bisa berjuang mendapatkan hati Zahra, Masak berjuang mendapatkan restu Umimu enggak bisa? Coba kamu bicara baik-baik dengan Umimu."

Raut wajah Ali berubah kusut. Ia menunduk dalam.

Harus dengan cara apa Ali membujuk Asiyah?

*************

Senja merambat pelan, hingga sore beranjak malam. Azzahra mematut dirinya di depan cermin, memandang pantulan tubuhnya yang telah terbalut gamis pink oversized, kerudung motif dan tas mungil.

Sederhana. Tampilan mode yang dipakainya sederhana. Namun sangat cocok di tubuhnya yang mungil.

Malam ini, Zahra diundang ke acara syukuran ulang tahun Lulu, teman sekelas sekaligus sekamar nya ketika masih berseragam putih abu-abu.

Setelah merasa rapih, Zahra melenggang ke luar kamar.

Sesampainya di Ravelle, sebuah tempat makan yang lokasinya di kawasan Kelapa Gading, Zahra celingak-celinguk mencari keberadaan teman-temannya.

Terlihat di sudut ruangan, tepatnya di sebuah meja panjang dan deretan kursi kayu yang artsy, beberapa teman-temannya sedang berkerumun. Zahra pun melangkah mendekati.

Zahra menyapa teman-temannya. Disana ada Lulu, Dwi, Reta, Restu dan beberapa teman pria yang seangkatan dengannya di MA Al-Ghazali.

Senyum Zahra meredup, ketika pandangannya tidak mendapati sosok yang ia harapkan ikut hadir di tempatnya kini. Siapa? Ali.

Kemana pria itu? Ah, pupus sudah harapan Zahra untuk melihat senyum manis di sudut bibir Ali.

Zahra terduduk di salah satu kursi dengan lemas. Tiba-tiba ia kehilangan gairah. Rasanya ia ingin pulang saja!

"Zahra, dimana Ali?" tanya Lulu di samping kiri Zahra.

Zahra menyerngitkan dahinya. "Kok nanyanya ke gue? Gue enggak tau."

"Lulu denger kabar dari Bilal, katanya keluarga Ali udah dateng ke rumah Zahra. Ngapain, tuh?" Lulu menggoda dengan senyuman jahilnya.

"Perkenalan doang, kok," jawab Zahra dengan wajah dingin. Kini tatapan temen-temennya yang lain menyorot ke arah Zahra. Sungguh, membuat Zahra risih.

"Wah, lagi proses ta'aruf ya? Bentar lagi ke tahap Khitbah, cie...." timpal Reta.

"Coba telpon Ali, biar dateng." Kata Dwi yang duduk di samping kanan Zahra.

Zahra membuka resleting tasnya, lalu mengeluarkan ponsel dengan casing karakter unicorn.

***********

Ali memasukkan beberapa tablet obat ke dalam mulutnya, lalu meneguk segelas air putih.

Setelahnya, Ali kembali berbaring dan memejamkan matanya di atas ranjang.

Suara dering ponsel terdengar. Tangan Ali meraba-raba ranjang dan berusaha menemukan benda pipih miliknya.

Setelah kulit tangannya merasakan permukaan casing ponselnya, ia meraih ponsel tersebut dan mengangkat telepon dari Zahra.

Hah? Zahra? Mata Ali terbelalak memandang nama penelepon di layar ponselnya.

[Assalamu'alaikum]

"Wa'alaikumussalam.

Wow, sungguh sebuah keajaiban! Azzahra binti penguin kutub utara, cewek terdingin se-Asia tenggara akhirnya nelpon Ali duluan!"

Ali beranjak duduk. Rasa sakit di tubuhnya menguap begitu saja. Kobaran cinta di dadanya makin membuncah.

[Datang ke acara syukuran Lulu. Buruan.]

Tut.

Panggilan telepon diputus sepihak oleh Zahra.

Ali meloncat dari kasur, ia menyambar jaket di dinding lalu keluar dari kamarnya.

Ali lari terbirit-birit penuh energi ke luar rumahnya. Dengan semangat 45, ia melajukan motornya, tak peduli dokter menyuruhnya untuk istirahat.

Sungguh, cinta dapat mengubah sakit menjadi sembuh, derita menjadi nikmat, pahit menjadi manis, keruh menjadi bening, dan kemarahan jadi kasih sayang.

Cinta adalah energi yang menggerakkan dan membangkitkan kekuatan.

AzzahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang