Bab 34: Kamu adalah bahagiaku

27 5 0
                                    

Penuh semangat, pria 18 tahun itu memacu motornya dengan kecepatan tinggi di atas jalanan aspal ibukota. Ia membawa motor seperti orang yang kesetanan. Matanya yang awas, ia gunakan untuk toleh kanan kiri.

"Jangan ngebut napa!" teriak Bilal yang duduk di belakang Ali. Pria itu tampak ketakutan, tangannya ia eratkan pada pinggang Ali.

Ali tidak memperdulikan ucapan Bilal. Jalanan pagi itu tampak lengang, membuat tangan Ali gatal untuk ngebut.

Selang beberapa menit, sepeda motor berjenis sport naked yang dikendarai oleh Ali tiba di parkiran sebuah gedung.

Ahad pagi ini, Ali akan menjadi Qori di acara walimatul 'ursy putri Zaid, lelaki yang beberapa minggu lalu memohon kepada Ali agar menyanggupi permintaannya.

"Huh, akhirnya sampai." Bilal mengembuskan nafas lega sambil membuka helmnya, diikuti oleh Ali.

Keduanya berjalan memasuki gedung tempat resepsi yang menjulang tinggi dan mewah.

"Ali," ucap seorang gadis yang duduk di belakang meja pagar ayu. Ali dan Bilal pun menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke samping.

Saat mengetahui yang memanggil namanya adalah Abidah, Ali pun kembali melangkah.

"Abidah? Lo jadi pagar ayu?" Bilal mendekat ke meja pagar ayu.

Bilal dan Abidah sudah saling mengenal, mereka satu kampus dan satu organisasi.

"Iya, ini pernikahan sepupu gue. Lo sama Ali diundang?" tanya gadis dengan kebaya modern berwarna merah muda di belakang meja pagar ayu.

"Ali diundang untuk jadi Qori disini, kalau gue cuma nemenin dia doang, sih" ucap Bilal.

"Oh," Abidah tersenyum sangat bahagia.

"Gue masuk dulu, ya." Bilal melangkah untuk menyusul Ali.

Abidah sudah terperangkap dalam pesona Ali sejak pertama kali bertemu Ali di gerobak bakso di depan kosan Bilal. Rasa cintanya tumbuh bersemi beriringan dengan setiap pertemuannya dengan Ali di fakultas yang sama.

Saat Ali dan Bilal sudah tiba di dalam gedung, keduanya langsung duduk di kursi yang tersedia.

"Acara selanjutnya yaitu Pembacaan ayat suci Al-Qur'an yang dibacakan oleh kak Muhammad Ali, kepadanya kami persilahkan," tutur seorang pembawa acara yang berdiri di atas panggung.

"Semangat!" Bilal menepuk-nepuk pundak Ali, seolah memberi kekuatan untuk sahabatnya itu.

Ali bangkit, lalu melangkahkan kedua kakinya menuju panggung. Beberapa mata para tamu undangan menyorot ke arah pemuda dengan outfit baju koko berwarna abu-abu, celana jeans dan sepatu sneakers putih itu.

Sesampainya Ali di panggung, ia duduk dan mulai melantunan surat Ar-Rum ayat 21. Pemilik suara selembut sutra itu tampak menghayati ayat yang dibacanya. Ratusan tamu berdecak kagum dan pujian pun dilayangkan kepadanya.

Setelah pembacaan ayat suci Al-Qur'an, Ali dan Bilal duduk di kursi tamu yang ada di pojok gedung. Mereka tampak asik memainkan handphone.

Tak lama Abidah datang, lalu duduk di samping kiri Bilal.

"Gue mau ngomong sama Ali, pindah dong, Lal," titah Abidah kepada Bilal yang duduk di tengah-tengah antara dirinya dan Ali. Ali yang duduk di pojok tak menyadari suara Abidah.

Bilal menjeda permainan di handphone nya, lalu menoleh ke samping kiri.

"Ngomong aja kali,"

"Gue pengen duduk deket Ali," paksa Abidah sambil menarik lengan kiri Bilal.

AzzahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang