Bab 42: Tersenyumlah.

28 6 1
                                    

Hari ahad, di sebuah bangunan perpustakaan bernama Al'atfal, tampak seorang pemuda berstatus mahasiswa komunikasi penyiaran Islam sedang membawakan kisah sahabat nabi kepada para audiens yang kebanyakan anak-anak.

Pembawaan Ali ketika menyampaikan kisah bisa merasuk ke dalam dunia anak-anak. Ali yang ceria dan penuh ekspresi membuat anak-anak hanyut dalam hikmah-hikmah luar biasa.

Kini Ali bermain dengan gerakan anggota badan. tangannya memperagakan gerak daun yang tertiup angin, kaki untuk menendang, melompat, dan berjalan.

Tak hanya gestur, ia juga memvariasikan mimik wajah. Pada bagian cerita yang menunjukkan kesedihan, ia pura-pura menangis. Begitupun ketika bagian cerita yang menunjukkan kebahagiaan, ia tersenyum manis.

Entah mendapatkan pencerahan dari siapa, pria ekstrover itu bisa membawakan cerita dengan baik hanya dengan latihan semalam saja.

Pembacaan cerita sahabat nabi telah selesai. Anak-anak berpencar dan sibuk mencari buku untuk dibaca. Ali dan seorang pria yang baru dikenal olehnya selama tiga minggu berjalan keluar perpustakaan.

"Hebat juga lo bawain cerita." Pria bernama Ghozi menepuk-nepuk pundak Ali.

Ghozi Al-fikri, Pria berstatus mahasiswa ilmu Al-Qur'an dan tafsir itu mengenal Ali di acara lomba Musabaqoh Tilawatil Qur’an. Keduanya sama-sama peserta dalam lomba tersebut. Saat pertama kali mengobrol, keduanya merasa ada kecocokan dan akhirnya berteman. Ghozi mengajak Ali bergabung dengan perpustakaan islami milik orang tuanya.

Ali dan Ghozi duduk di kursi panjang yang ada di teras. Keduanya ingin berbagi kisah dan menguak pengalaman satu sama lain dalam menggeluti hobi di bidang seni melantunan Al-Qur'an.

Ali bercerita tentang pengalamannya yang sejak SD sudah mengikuti lomba Al-Qur'an.

Tak ingin kalah, kini Ghozi pun bercerita. Namun, ketika Ghozi menceritakan Madrasah Aliyah-nya, Ali tercengang dan menyela ucapan Ghozi.

"Lo dulu sekolah di MA Al-falah? Kenal Azzahra gak?" Ali menatap Ghozi dengan antusias.

Deg.

Jantung Ghozi hampir keluar dari sarangnya mendengar nama Azzahra. Ia menunduk. Sekelebat kenangan bersama Zahra tiba-tiba menyerang otaknya. Wajahnya berubah mendung, sepertinya ada sesuatu yang kembali menghujani hatinya.

Ali mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya, lalu membuka galeri. "Ini wajah Azzahra."

Ali mendekatkan layar ponselnya ke depan mata Ghozi.

"Iya, gue kenal," ucap Ghozi dengan ekspresi yang masih sama.

"Azzahra lagi proses ta'aruf sama gue."

Ghozi menatap Ali dengan ekspresi tak percaya sekaligus kecewa. "Serius? Lo kenal Azza dimana?"

"Kenal di MA Al-Ghazali. Dia masuk ke sekolah gue waktu kelas 11 semester 2."

Ghozi mengangguk lemas. Entah kenapa pernyataan Ali membuat hatinya terperosok ke dalam lubang kesedihan.

"Waktu Zahra masih sekolah di MA Al-falah. Dia kayak gimana?" tanya Ali.

Ghozi menyerngit dan tak mengerti pertanyaan Ali.

"Gimana apanya?"

"Gimana sikap dan pengalamannya, soalnya ada cewek yang memfitnah Zahra, namanya Abidah. Dia dulunya anak MA Al-falah juga."

Ghozi memejamkan matanya dan mengepalkan kedua tangannya, seolah-olah menahan gejolak dalam hatinya. Rasa marah, sedih, dan kecewa menghiasi wajahnya. Masa lalunya bersama Zahra dan Abidah banyak dibumbui drama yang membekas hingga kini.

AzzahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang