Bab 32: Dinner

24 6 0
                                    

Pada waktu sore hari, Zahra tampak sedang membuat adonan kue di dapurnya. Kakinya yang sudah sembuh berjalan kesana-kemari mengambil beberapa bahan dan peralatan untuk membuat kue yang ada di kulkas, lemari dan meja makan.

Zahra mengeluarkan cup cake dari oven dengan hati-hati dan menaruhnya di atas piring. Aroma cokelat yang sangat lezat menyeruak di seisi ruangan.

Setelah mengeluarkan cupcake dari oven, Zahra mendiamkan kue tersebut sampai dingin, agar ketika kue dihias dengan buttercream, buttercreamnya tidak meleleh dan jatuh.

Suara dering handphone di atas meja makan menarik perhatian Zahra. Gadis itu meraih benda persegi tersebut.

Ia mendapatkan panggilan telepon dari Ali.

[ Assalamu'alaikum, Azzahra. ]

"Wa'alaikumussalam."

[Gue, Abi dan Umi ke rumah lo sekitar jam 8 malem, ya, Ra. ]

"Iya."

[Lo lagi ngapain sekarang?]

"Bikin kue."

[Kue buat siapa?]

"Buat lo."

[Jangan terlalu capek, ya, Ra. Kaki lo 'kan baru lepas gips, jangan terlalu lama berdiri.]

"Hmm ..."

[Yaudah, semangat bikin kuenya. See you tonight.]

Panggilan telepon pun terputus.

Zahra menatap foto profil WhatsApp Ali. Sebuah senyuman terukir di wajah manisnya, Sungguh demi apapun ia sangat bahagia.

********

Ceklek.

Pintu sebuah kamar terbuka, menampilkan sosok Asiyah yang memakai daster batik dan rambut diikat cepol.

Asiyah melangkah ke arah Muaz yang sedang duduk di depan meja kerjanya. Tangan suaminya sibuk berkutat dengan keyboard laptop dihadapannya. Pria itu sedang menyiapkan soal-soal ulangan harian untuk Anak-anak didiknya di Madrasah Ibtidaiyah.

"Kita jadi ke rumah Zahra, Bi?" Asiyah menyentuh pundak Muaz.

"Jadi dong, Umi siap-siap sekarang, ya," ucap Muaz sambil menutup layar laptopnya. Tak lama tangan pria itu meraih sebuah benda berbentuk kubus berwarna pink yang dilengkapi dengan tombol-tombol di atas meja, lalu memasukkan benda itu ke dalam sebuah goodie bag. Benda itu adalah speaker Al-Qur'an digital, yang dirancang khusus untuk membantu menghafal dan muroja'ah Al-Qur'an.

"Speaker itu buat siapa, Bi?" tanya Asiyah dengan raut wajah penasaran.

"Buat Zahra, Um."

"Umi sebenernya ragu kalau Ali menikah muda," jujur Asiyah.

"Ta'arufnya batalin aja, Bi. Ali fokus kuliah dulu," lanjutnya

Muaz bangkit, lalu menghadapkan tubuhnya ke depan tubuh Asiyah.

"Kenapa ragu?" tanya Muaz.

Asiyah menundukkan kepalanya seraya mengigit bibir bawahnya, wanita itu terlihat sangat khawatir dan cemas.

"Pernikahan dini itu rentan perceraian, Bi. Umi takut banget," ucapnya.

"Tenang aja, Umi." Muaz mengenggam erat kedua tangan sang belahan jiwanya seraya tersenyum. Mata keduanya bertemu dan saling pandang.

Mata Muaz memancarkan sorot mata penuh keyakinan. "Jika Ali dan Zahra menikah. Rumah tangga mereka berada di bawah bimbingan kita. Daripada mereka terjebak fitnah, lebih baik menikah. Insyaallah, tidak akan terjadi perceraian. Kita harus berprasangka baik."

Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut sang suami, membuat bibir tipis Asiyah melengkung membentuk senyuman.

"Yaudah, Umi siap-siap dulu, ya." Asiyah melangkah menuju lemarinya untuk ganti pakaian.

***********

Pada malam hari, suasana halaman belakang rumah Zahra tampak ramai. Di halaman itu terdapat ruang makan outdoor yang kursi-kursinya diisi oleh beberapa orang.

Tanaman rambat pada atap ruang makan, lampu-lampu hias yang cantik, peralatan makan yang aesthetic dan dekorasi unik lainnya menjadi saksi bisu pertemuan keluarga Zahra dan keluarga Ali.

Malam ini, Ali menyatakan niat yang tulus untuk serius. Ya, niat tulus untuk meminang gadis berjilbab pink yang duduk di hadapannya.

Tahapan awal untuk merealisasikan niat baiknya yaitu dengan cara ta'aruf. Suatu tahapan untuk mengenal latar belakang keluarga mulai dari soal agama, sosial, budaya, pendidikan dan masih banyak lainnya. Jika ada kecocokan antar kedua belah pihak, maka akan dilanjutkan dengan khitbah (lamaran).

Setelah keluarga Zahra yang dihadiri oleh Rita dan suami Rita yang bernama Ray, serta keluarga Ali yang dihadiri oleh Muaz dan Asiyah berkenalan satu sama lain. Asiyah merasa ada seseorang yang kurang. Seseorang yang seharusnya hadir di tengah-tengah mereka.

"Ibunya Zahra dimana?" tanya Asiyah.

Sontak pertanyaan tersebut membuat Rita dan Zahra saling pandang.

Pandangan Rita kembali menatap Asiyah. "Ibunya Zahra bernama Julia Lorelle. Beliau sedang sibuk, jadi tidak bisa ikut hadir bersama kita," balas Rita.

"Hah? ibunya Zahra itu Julia Lorelle?" ucap Asiyah dengan raut wajah yang terlihat tak percaya. Rita dan Zahra mengangguk.

Ali menatap wajah Zahra yang meredup. Pria itu tau Zahra sedang rapuh sekali. Dari sorot matanya, ia tahu ada kilatan aneh yang mereflesikan hatinya yang lebam.

"Julia seorang Selebgram seksi itu? beneran?" Asiyah masih tidak percaya.

Rita menganguk lagi, sedangkan Zahra menunduk, ia tampak sedang memikirkan sesuatu, pikirannya sedang di penuhi oleh kemungkinan buruk yang akan terjadi.

"Masa anaknya lagi proses ta'aruf, ibunya tidak menyempatkan diri untuk hadir? sesibuk apa sih emang?" sindir Asiyah.

Muaz yang berada di samping Asiyah menyentuh punggung tangan istrinya.

"Mungkin Bu Julia sedang sibuk, Um. Di pertemuan berikutnya pasti Bu Julia hadir bersama kita. Betul 'kan Bu Rita?" Muaz menatap wajah Rita.

"I-ya. Insyaallah, pada pertemuan berikutnya Bu Julia pasti hadir."

Setelah menyantap sajian dan mengobrol banyak tentang latar belakang keluarga masing-masing, keluarga Ali pun pamit pulang.

Saat di dalam mobil, Asiyah stalking akun Instagram Julia.

"Umi enggak setuju Ali nikah sama Zahra, proses ta'aruf kalian cukup sampai disini aja, enggak usah dilanjutkan ke tahap khitbah!" tegas Asiyah.

Muaz yang berada dibalik kemudi menoleh sekilas ke arah Asiyah yang duduk di sampingnya.

"Proses ta'aruf tetap dilanjutkan. Kita 'kan belum bertemu dengan ibunya Zahra," ucap Muaz.

"Pokoknya Umi enggak setuju! Mau ditaruh dimana wajah kita? Kita 'kan berasal dari keluarga yang paham agama, mulia dan terhormat. Masa punya besan selebgram seksi sih? ih, amit-amit!" omel Asiyah.

"Astagfirullah, yang bisa menilai kemuliaan seseorang itu Allah, bukan manusia. Manusia yang luarnya terlihat buruk, bisa saja memiliki hati yang baik," ucap Muaz meluruskan.

"Benar kata Abi. Pokoknya proses ta'aruf tetap dilanjutkan. walaupun ibunya Zahra seperti itu, Zahra anak yang baik dan shalihah kok. Buktinya dia hafal Al-Qur'an," timpal Ali yang duduk di kursi penumpang.

"Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya! Kalau Ibunya bejat, anaknya juga bisa dipastikan bejat!" caci Asiyah.

"Enggak! Zahra itu anak baik-baik kok!" sanggah Ali.

"Kamu itu udah dibutakan oleh cinta!" Asiyah menengok kebelakang lalu menatap tajam Ali.

"Pokoknya Umi enggak merestui hubungan kalian. Proses ta'aruf selesai dan tidak usah dilanjutkan ke tahap khitbah!" ucap Asiyah.

"Enggak! pokoknya Ali akan melanjutkan ta'aruf sampai tahap khitbah," kekeuh Ali.

AzzahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang