Bab 31: Imam muda

26 5 0
                                    

Di sebuah kamar dengan dinding berwarna biru langit, tampak seorang Muhammad Ali sedang bercermin di depan kaca lemarinya. Tangannya sibuk memasukkan buah kancing baju kokonya, memasang peci hitam di kepalanya dan memasang sorban Abu-abu di pundaknya.

Setelahnya, Ali berjalan menuju masjid bernama Masjid Ali bin Abi Thalib, masjid milik Ayahnya yang dibangun sebagai wujud rasa syukur atas kelahirannya.

Di perjalanan menuju masjid, Ali bertemu dengan bapak-bapak yang baru keluar dari rumah mereka. Ia menyalami bapak-bapak itu sambil tersenyum ramah. Ah, mendapatkan perlakuan santun dari anak seorang pendakwah, membuat bapak-bapak itu tersenyum manis.

"Tumben jalan sendiri? Ustad Muaz kemana?" Tanya seorang bapak tua yang berjalan di samping kiri Ali.

"Abi lagi ke Aceh. Jenguk nenek, Pak," jawab Ali.

"Nak Ali, apakah sudah mempunyai calon?" Tanya seorang Bapak bernama Syarif yang berjalan di samping kanan Ali.

Ali tertawa kecil, "calon apa, pak?" Tanyanya seolah-olah tidak tau.

"Ah, masa tidak tau! Calon istri." Jawab Pak Syarif.

"Rahasia, pak."

"Hmm..kalau tidak punya, Saya mau jodohkan kamu dengan Putri saya"

Mendengar pernyataan itu, seketika Ali tertegun.

"Jangan jodoh-jodohan lah, Pak. Bukan jaman Siti Nurbaya, hehe" jawabnya diakhiri tawa.

"Saya sangat berharap sekali, Nak Ali mau dengan Putri saya."

Oh God! Seketika Ali melebarkan kedua matanya.

Sejak mengetahui kepulangan Ali dari pesantren, Syarif ingin menikahkan pria itu dengan Putrinya.

Ah, manusia mana yang tak ingin memiliki menantu seorang hafidz muda, yang lahir dari keluarga paham agama seperti Ali?

Ali memilih bungkam dan tak ingin membeberkan bahwa ia sudah memiliki tambatan hati. Niatnya ingin diam-diam menyebar undangan.

Tak terasa kini Ali beserta bapak-bapak sudah berada di dalam Masjid.

Setelah azan dan Iqamah dikumandangkan, jamaah shalat Magrib pun mulai membentuk barisan.

Ali yang mendapatkan amanat dari Muaz untuk menjadi imam salat pun melangkah ke sajadah tempat shalat Imam.

Malam ini, untuk pertama kalinya Ali menjadi pemimpin Shalat di masjid itu. Rasa tegang mulai mencuat ke permukaan jiwanya. Kucuran keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia beberapa kali menghela nafas panjang agar tetap tenang.

Ali meraih mic wireless jepit lalu memasangnya di baju, setelah terpasang ia menengok ke belakang seraya berkata, "aqimu shufufakum wa tarashshu ( Luruskan shaf kalian dan rapatkan ) "

Shalat magrib pun dimulai, Suara Ali ketika melafalkan ayat-ayat suci Al-Qur'an terdengar sangat merdu dan fasih. Bacaannya yang sesuai kaidah syari'at mampu menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya.

Sungguh, suara sang imam muda yang lembut, tenang dan tajwid yang baik membuat para jama'ah menjadi khusyuk dan penuh dengan linangan air mata.

Semua jama'ah terhanyut dalam kesyahduan dan keindahan firman Allah.

Setelah shalat magrib dan wirid selesai, Ali melangkahkan kakinya ke sebuah bangunan tempat pembelajaran Al-Qur'an yang terletak di samping masjid.

Tak hanya menjadi Imam shalat, ia juga diberi amanat oleh Muaz untuk menjadi guru Al-Qur'an bagi anak-anak.

Ditengah perjalanan, ia mendengar seseorang memanggil-manggil namanya, ia pun berbalik badan.

"Nak Ali tunggu!" Seorang Pria berhenti berlari tepat di hadapan tubuh Ali. Pria itu memegang bahu Ali dengan nafas tersengal-sengal.

AzzahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang