Bab 58: Kebohongan Zahra.

37 4 1
                                    

Terkadang hidup memang sulit ditebak. Sering kali hujan tiba-tiba datang meski beberapa saat lalu matahari bersinar dengan teriknya.

******

"Allaahumma hawwin ‘alainaa safaranaa hadzaa wathwi ‘annaa bu’dahu allaahumma anta ashshoohibu fissafari walkholiifatu fil-ahl ( Ya Allah, mudahkanlah kami berpergian ini, dan dekatkanlah kejauhannya. Ya Allah yang menemani dalam berpergian, dan Engkau pula yang melindungi keluarga)."

Ali berdoa setelah ia duduk di kursi penumpang.

Pesawat siap lepas landas dari jalur landasan. Hati Ali dag dig dug tak karuan. Ia kencangkan safety belt sebagaimana arahan pramugari sebelumnya. Badannya gemetar saat pesawat melaju kencang sesaat menuju take off.

Ali menatap keluar jendela pesawat dengan wajah sendu, memandangi awan putih yang bergelantungan di langit yang cerah.

Mulutnya melantunkan asma Allah, seketika hati dan pikirannya menjadi tenang dan ringan. Ketakutan-ketakutan yang sebelumnya menjerat hatinya, kini terlepas bak anak panah yang dilepas dari busurnya. Ia benar-benar tenang dan lebih siap berjuang demi sebuah impian.

Ali membuka tas ranselnya untuk mengambil dress milik putrinya. Ia dekatkan dress itu ke hidungnya, seketika aroma khas bayi menyeruak dalam Indra penciumannya. Ia membawa dress itu agar rasa rindu kepada sang buah hati bisa terobati.

*****

Menyeimbangkan antara tanggung jawab pendidikan dan merawat anak tidaklah mudah.

Pukul 01.00 malam, Zahra masih berkutat di depan laptopnya. Ia begadang karena harus menyelesaikan tugas dari salah seorang dosennya.

Semenjak Aliza sering rewel, waktu belajar Zahra menjadi berantakan. Waktu kosongnya telah dirampas oleh putrinya. Ia baru bisa belajar ketika putrinya terlelap.

"Alhamdulillah ...." Zahra meregangkan otot-ototnya yang kaku sambil mengembuskan napas lega. Tugasnya telah selesai.

Tak lama terdengar suara tangisan dari Aliza yang terbaring di box bayi. Zahra bangkit lalu menggendong putrinya. Saat ia hendak menyusui Aliza, bayi itu memalingkan wajahnya dan menjerit-jerit dengan air mata yang terus mengalir deras.

Rasa cemas mengeroyoki hati Zahra. Sebelum terlelap, Aliza sempat demam. Namun, setelah diberi obat penurun panas, demamnya turun.

Zahra mengambil termometer di dalam laci untuk mengecek kembali suhu tubuh Aliza. Ia lalu meletakkan termometer di ketiak Aliza. 15 detik kemudian, termometer digital itu berbunyi bip dan menunjukkan suhu tubuh Aliza.

Kedua mata Zahra terbelalak. "Hah? 40 derajat celsius?" raut wajah Zahra tampak panik.

Aliza tak henti menangis histeris dan meronta-ronta dalam gendongan Zahra. Zahra menimang-nimang putrinya sambil membacakan salawat nariyah yang biasa Ali lantunankan ketika meninabobokan Aliza.

Entah apa yang dirasakan bayi itu. Namun, suara tangisannya seperti berkata bahwa ia sedang kesakitan.

Suara tangisan Aliza yang keras membuat Asiyah dan Muaz terbangun. Nenek dan kakek muda itu memasuki kamar Zahra.

"Kenapa Aliza?" tanya Asiyah dengan wajah khawatir.

"Demam tinggi lagi," jawab Zahra dengan badan gemetar dan air mata bercucuran.

Asiyah berlari pontang-panting ke dapur hendak mengambil kompresan.

Sementara Muaz memegang kening Aliza seraya membacakan ayat-ayat ruqyah.

Selang satu menit, kedua bola mata Aliza naik ke atas. Ia kejang dan tampak seperti kesurupan.

Zahra menangis histeris memandang putrinya.

"Kita ke rumah sakit sekarang," ajak Muaz.

*****

Muaz mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata.

"Ya Allah, tolong Aliza ...." Kucuran air mata membasahi wajah Zahra. Tubuh Aliza membiru. Kejang tidak kunjung hilang meski sudah lebih dari lima belas menit.

Zahra sama sekali tak terpikir jika kondisi Aliza akan seburuk ini. Sebelumnya, Aliza juga pernah kejang, namun durasi kejangnya pendek. Dokter anak sebelumnya menjelaskan kejang yang dialami Aliza tergolong ringan.

Saat tiba di rumah sakit, Ventilator pun dipasang karena Aliza kesulitan bernapas dan ia diberi obat antikejang.

*****

Selama tiga hari kondisi Aliza  kritis dan semakin menurun. Bayi itu dirawat di ruang NICU (neonatal intensive care unit) yaitu, ruang perawatan intensif di rumah sakit, bagi bayi dengan gangguan kesehatan serius.

Setelah menjalani CT scan dan berbagai macam tes laboratorium lainnya, Dokter anak mendiagnosa Aliza mengidap penyakit ensefalitis atau radang otak.

Mendengar diagnosa tersebut, Zahra tak mampu berkata-kata. Tubuhnya seperti disambar petir di siang bolong.

Bagaimana mungkin hal itu terjadi pada buah cintanya bersama Ali, yang selama ini ceria dan menggemaskan?

Zahra terduduk lemas di lantai. Ia memegangi dadanya yang sesak. Rasa pedih mencabik-cabik hatinya.

Terpikir olehnya Ali, bagaimana perasaan suaminya ketika tau kondisi putrinya?

Sungguh, Zahra tidak ingin Ali kehilangan fokus dalam kompetisi MTQ ketika tau Aliza kritis.

*****

Sebagai seorang ibu, Ketika si kecil demam ringan saja Zahra stres. Apalagi kini, putrinya mengalami penyakit kronis.

Zahra tak bisa menahan gejolak emosi ketika memandang peralatan begitu banyak terpasang di tubuh mungil Aliza di ruang NICU.

Tidak hanya mencemaskan si Kecil. Bahkan gerak-gerik, mimik muka dokter atau tim medis di NICU pun membuat Zahra cemas dan bertanya-tanya apakah ada kondisi darurat mendadak. Belum lagi, banyak bayi-bayi lain yang juga dirawat di NICU Tak jarang, suara tangis bayi yang terdengar bergantian, membuat kekhawatiran dalam diri Zahra semakin tidak karuan.

Jika bisa, Zahra rela dan ikhlas jika penyakit Aliza dipindahkan kepadanya. Karena pada dasarnya, tidak ada seorang ibu yang mau melihat anaknya sakit, bukan?

Habibi❤️:
Assalamu'alaikum, habibati.

Bagaimana keadaan kamu dan anak kita? Maaf, Abang baru sempat menghubungi.

Pesan yang dikirim Ali membuat Zahra terkesiap.

Me:
Adek dan Aliza baik-baik saja.

Terpaksa Zahra berbohong. Ia tak ingin Ali, yang rasa sayangnya terhadap sang putri sangat besar, menjadi khawatir. Ia takut Ali nekat pulang ke indonesia dan mengakhiri perjuangannya meraih cita-cita.

--------

Terimakasih

AzzahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang