Bab 46: Resepsi.

35 4 3
                                    


Zahra membekap mulutnya yang hendak menguap. Dengan mata yang masih terpejam dan kesadaran yang belum penuh, tangannya meraba area kasur di sampingnya dan berusaha memegang tubuh seseorang yang semalam tidur bersamanya. Namun, Kulit tangannya hanya merasakan keberadaan bantal dan selimut.

Kemana Ali?

Kini mata Zahra terbuka sempurna. Ia mengubah posisinya menjadi duduk. Pandangannya menyapu seisi ruangan. Tak ia temukan sosok Ali.

Tiba-tiba terdengar suara gemericik air dari kamar mandi yang berada di dalam kamar tersebut. Oh, rupanya sang belahan jiwa tengah mandi.

Zahra mengambil guling lalu memeluknya. Sebuah senyuman terlukis di wajahnya ketika teringat peristiwa tadi malam. Satu kata yang bisa mewakili bagaimana perasaannya kini: bahagia.

Beberapa menit Zahra asik melamun sambil tersenyum, hingga tak menyadari keberadaan Ali yang kini telah berdiri di sampingnya.

Ali geleng-geleng kepala melihat Zahra. "Pagi-pagi senyam-senyum sendiri. Kesambet setan apaan, ya, nih anak? Padahal semalem gue udah baca doa sebelum memulai aksi."

Ali mengulurkan kedua tangannya untuk mengacak-acak rambut Zahra.

Zahra sedikit tersentak, ia mendongak untuk menatap wajah Ali.

"Buruan mandi!" perintah Ali yang semakin memberantaki rambut Zahra gemas.

Zahra mendesis sebal lalu membuang kedua tangan Ali di kepalanya.

Ali membungkuk lalu kedua tangannya meraih tubuh Zahra untuk ia gendong.

"Turunin! Emang gue bayi apa?!" Zahra memberontak dan memukul dada Ali karena Ali membawa tubuhnya ke kamar mandi.

Ali menurunkan tubuh Zahra di kamar mandi. "Mandi cepetan sebelum azan subuh!"

*******

Zahra melihat penampilannya di permukaan cermin yang berada di kamarnya. Sebuah gaun cantik berwarna peach dengan taburan kristal Swarovski melekat di tubuh rampingnya. Benar-benar seperti princess dalam dongeng. Ia tersenyum, hingga sudut bibirnya membentuk bulan sabit.

Ditatap oleh Zahra heels berwarna putih yang berada di depan kakinya. Ia mendengus kesal dan mengerucutkan bibirnya. ia tak suka memakai sepatu yang akan menyiksa kakinya.

Berbeda dengan Zahra yang mengumpat dalam hati, Ali memuji dirinya yang terlihat tampan mengenakan setelah jas berwarna hitam. Ali mematut dirinya di permukaan cermin, sama seperti Zahra. Berulang kali ia merapikan pakaian dan rambutnya yang terlalu banyak memakai pomade.

"Sip, gue udah handsome, sebelas dua belas lah, sama Christian grey," ucapnya percaya diri, membuat Zahra memutar bola matanya malas. "Look at you, udah mirip sama bidadari surga, dan hari ini kita akan menjadi pasangan paling fenomenal, yeah!"

"Males pake sepatu!" gerutu Zahra dengan kedua tangan menyilang di depan dada. Ekspresi wajahnya benar-benar kusut.

Ali menatap Zahra sambil mengerutkan keningnya. "Terus lo mau nyeker gitu?"

"Enggak mau pake heels! Pengen pake sepatu biasa aja! Gue takut jatuh kalau pake sepatu kek gitu!" Zahra menggerundel kesal.

Ali menatap heels di depan kaki Zahra. "Udah pake aja. Itu cocok dipakai sama lo. Mana ada bidadari pake sepatu keteplek."

Ali berjongkok dan hendak memakaikan heels ke kaki Zahra.

"Angkat kaki lo," perintah Ali.

Zahra mengangkat satu kakinya lalu Ali memasukan kaki Zahra ke dalam heels. Satu tangan Zahra bertumpu pada bahu Ali agar tubuhnya tetap seimbang.

"Kaki yang Satu lagi angkat."

Kini kedua kaki Zahra telah memakai heels, membuat tinggi badannya bertambah.

"Ayo kita keluar," ajak Ali sambil bangkit.

Zahra berbalik badan dan melangkah untuk mengambil sebuket bunga yang berada di atas meja. Namun, karena ia tidak biasa memakai heels, badannya kurang seimbang dan terhuyung ke belakang.

Ali yang sudah berada di belakang tubuh Zahra, dengan sigap menopang tubuh Zahra, lalu dengan sengaja ia membawa tubuh Zahra ke dalam pelukannya.

Tiba-tiba terdengar suara decitan pintu yang dibuka dan juga derap langkah kaki.

"Bagus, ya, kalian! Pagi-pagi udah mesra-mesraan aja!" Asiyah geleng-geleng kepala melihat anak dan menantunya. "Di ballroom udah banyak tamu yang datang lho!" Asiyah mengomel sambil berkacak pinggang.

Setelah sampai di ballroom hotel, suasana begitu ramai karena dipenuhi para tamu undangan, mulai dari teman-teman Ali dan Zahra, rekan bisnis Asiyah, rekan dakwah Muaz, dan masih banyak lagi.

Ali dan Zahra berjalan di karpet merah yang terhubung dengan kursi pelaminan.

"Sumpah, ini rame banget! Gue capek berdiri pake heels setinggi ini," keluh Zahra berbisik di telinga Ali yang sedang digandengnya.

Ali mendekatkan wajahnya ke telinga Zahra. "Namanya juga resepsi, pasti rame lah," balas Ali. "Dan bisa gak, lo bersikap sebagai cewek normal lainnya. Acara ini cuma beberapa jam aja, gak sampai seharian. Please, keliatan elegan lah."

Ali dan Zahra berjalan perlahan menuju kursi pelaminan. Satu tangan Zahra memegang sebuket bunga, sedangkan tangannya yang lain menggandeng tangan Ali. Tidak lupa mereka terus mengukir senyum semanis mungkin kepada para tamu undangan.

Seorang MC mengumumkan bahwa pembacaan ayat suci Al-Qur'an akan dimulai. Ghozi yang telah dipinta oleh Ali untuk menjadi Qori pun naik ke atas panggung yang berada di sisi pelaminan.

Zahra menengok ke arah Ghozi. Sekelebat kenangan bersama Ghozi singgah dalam benaknya. Pria itu telah mengukir jasa dalam hidupnya. Ghozi yang dulu menyelamatkannya ketika ia disekap oleh seseorang yang ingin merenggut kehormatannya.

Pandangan Zahra kini beralih pada sosok yang berdiri di samping pintu keluar. Sosok berdress hitam yang menatapnya sinis dan penuh kebencian. Sosok itu adalah Abidah. Gadis yang memfitnah Zahra dengan mengatakan bahwa ia sudah tidak suci kepada semua anak-anak MA Al-falah, juga kepada Ali dan Bilal.

Zahra menunduk sambil berusaha menetralkan dadanya yang sesak. Hingga detik ini, ia masih tidak percaya kalau Abidah, sahabatnya, sudah membuat namanya tercoreng.

Kini, tibalah ceramah pernikahan yang akan dibawakan oleh Muaz.

Muaz yang memakai jas, sarung dan kopiah songkok naik ke atas panggung, lalu mengambil microfon dari MC.

Setelah Muaz membacakan pembukaan ceramahnya, kini tibalah isi dari ceramah yang ia bawakan.

"Jadilah istri yang tunduk patuh kepada suami, yang senantiasa berseri-seri saat dipandang, yang ridha terdiam saat suami marah, tidak merasa lebih apalagi meninggikan suara, tercantik dihadapan suami, terharum saat menemani suami beristirahat, tak menuntut keduniaan yang tidak mampu diberikan suaminya, yang sadar bahwa ridha Allah ada pada ridha suaminya."

Mendengar ucapan yang terlontar dari Muaz. Zahra menengok ke wajah Ali di sampingnya. Dalam hati, ia berdoa semoga ia bisa mengemban tanggung jawab dengan baik sebagai seorang istri dan kelak sebagai seorang ibu.

Setelah menghela napas, Muaz melanjutkan ceramahnya.

"Jadilah suami yang mengerti bahwa istrinya bukan pembantu, yang sadar tak melulu ingin dilayani, yang malu jika menyuruh ini itu."

"Wahai para suami, jika kamu menginginkan bidadari surga, maka ciptakanlah surga di dalam rumahmu sendiri. Karena bidadari tidak hidup di neraka."

-------

Maaf kalau kurang nyambung atau apalah,

Terimakasih semuanya :)

AzzahraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang