Makan malam kali ini cukup ramai, namun tidak dengan hati dan perasaan Dilla. Entah kenapa ia merasa sangat tidak nyaman berada ditengah-tengah mereka. Harus mendengarkan orang yang selalu membanggakan anaknya tapi terlihat merendahkan orang lain.
"Dilla, dulu kuliah dimana? " tanya seseorang
"Di Sentral College Penang, Malaysia dan National Taiwan University" Jawab Dilla
Mereka mengangguk paham "jurusan apa? " tanya nya lagi
"Di Malaysia Diploma in early childhood education dan di Taiwan Psikologi " Jawabnya lagi.
"Oh, bukan pendidikan agama toh? " tanyanya dengan nada meremehkan.
Dilla tersenyum getir dibalik cadarnya, Gus Nauzan memahami istrinya tidak nyaman, ia mengelus tangan Dilla pelan seolah menenangkan Dilla, everything gonna be fine.
Obrolan-obrolan itu semakin memojokkan Dilla, bahkan setelah makam malam itu selesai.
"Dilla sudah isi belum? " tanya orang itu lagi
"Belum, Nyai. Minta do'anya yah" balas Dilla seramah mungkin
"Sudah periksa belum, coba diperiksa biar cepat diatasi kalau ada sakit. Kan Gus Nauzan butuh penerus nantinya." Ujarnya menyakitkan
Dilla menunduk mendengar ucapannya, dalam pikiran Dilla itu fakta tapi sangat menyakitkan. Bagaimana bisa istri seorang Kyai mengatakan itu. Ah,, Dilla lupa ia adalah istri kedua Pak Kyai Muchsin dari Jawa Timur, yang tak lain adalah Ayah dari Zahra. Perempuan yang Dilla temui di Cairo beberapa waktu yang lalu. Istri pertama Pak Kyai tidak memiliki anak jadi Pak Kyai menikah lagi dan memiliki dua orang anak salah satunya adalah Zahra.
"Coba dulu jadi sama Zahra ,kan? " ujarnya lagi
Jleb
Hati Dilla semakin terluka dengan ucapannya,
"Eh tapi ndak apa-apa kan laki-laki masih bisa menikah lagi, yah kan Pak Kyai Hussein? " sambungnya namun hanya dibalas senyuman oleh Abah mertua Dilla.
Gus Nauzan merasa sangat jengah dengan pembahasan itu. Tentu saja itu sangat menyakitkan untuk Dilla, istri tercintanya yang artinya juga menyakitinya. Terlebih lagi Gus Nauzan paham betul kemana arah pembicaraan mereka.
"Abah, Ummi saya sama Dilla pamit yah tadi lupa bilang kalau malam ini kita akan ke Cirebon." ujar Gus Nauzan mencari alasan demi menghindari pembicaraan yang hanya akan menyakiti dia dan Dilla.
Abah Hussein paham betul bahwa putranya itu hanya mencari alasan. Namun ia pun berfikir bahwa akan lebih baik kalau mereka pergi dulu. Sebenarnya keluarga Al-Fawwaz tidak pernah ada masalah dengan Kyai Muchsin dan Nyai Khodijah, istri pertamanya tapi tidak dengan istri keduanya yang perkataannya terkadang menyakitkan.
"Oh ya sudah hati-hati yah, salam untuk keluarga disana." ujar Abah Hussein.
Setelah berpamitan, Gus Nauzan dan Dilla masuk ke kamarnya untuk sekedar membawa beberapa baju ganti, setelah itu mereka pergi ke Cirebon. Serbah dadakan, hanya untuk menghindari tamu yang menyebalkan. Mungkin seandainya, jika Gus Nauzan tau lebih awal maka sudah dipastikan ia akan membawa istrinya menghindari tamu itu.
Sepanjang perjalanan Dilla lebih banyak diam, moodnya tak karuan. Ia benci dibandingkan! Sangat benci! Rasanya ingin menangis, pergi jauh menenangkan diri . Sembari menyetir, Gus Nauzan tak pernah melepaskan pegangan tangannya pada Dilla.
Sesampainya di rumah Dilla yang berada di Cirebon, mereka beristirahat sambil menunggu waktu subuh tanpa pembicaraan apapun. Karena rumah Dilla bersebelahan dengan mushola , mereka berdua memilih sholat di mushola.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Cinta , Waktu & Allah ( Penantian Cinta )
Espiritual( Spiritual - Romance ) "Kalau ntar Dilla ndak bisa kasih anak gimana? " ucapnya sembari terisak pilu. "Bagaimana kalau sebaliknya? Bagaimana kalau Mas yang ndak bisa? " balas Gus Nauzan yang membuat Dilla diam dan semakin menunduk . "Denger mas ya...