One Step Closer [1]

288 31 11
                                    

POV SANDARA PARK

Badai berlalu begitu saja setelah mampir sebentar untuk menyapa pertahan diriku. Hampir dua minggu berlalu setelah seseorang berusaha mencelakanku dengan menghantamkan truck cargo ke mobil yang kumiliki. Meskipun begitu, aku tetap besyukur karena tidak ada korban jiwa meski mobilku harus hancur dan tak dapat digunakan lagi. Namun harus kuakui bahwa kejadian hari itu tak hanya memberikan dampak negative saja melainkan juga memberikan sisi positifnya, kejadian malam itu membuat hubungan antara aku dan Jiyong bertambah akrab, kami semakin akur, dengan aku yang mulai nyaman membicarakan banyak hal dengannya dan Jiyong yang mulai terbuka meskipun tak jarang sikap otoriternya tak pernah absen untuk membuatku kesal.

Seperti kali ini, sudah hampir satu minggu aku terjebak di Seoul karena tawaran konyol pria itu. Satu minggu lalu ketika aku menyelesaikan tugas sebagai relawan, Jiyong tiba-tiba memberikan penawaran disela kesibukanya mengemudikan mobil setelah menjemputku. Pilihan pertama adalah pulang ke rumah dengan pengawasan Mia, June, dan Hanbin atau pilihan kedua dengan tetap di Seoul tanpa adanya pengawasan. Dua pilihan yang sudah sangat jelas jawabanya itu dilakukanya karena Ia harus menetap sementara di Seoul. Awalnya Aku sempat berfikir bahwa pria itu terlalu berlebihan namun setelah melihat keadaan mobilku yang hancur, sepertinya aku yang kurang waspada dan terlalu menyepelekan Jiyong. Aish.

" Kau sudah pulang ?"

Suara berat tanpa aba-aba itu berhasil membuat tubuhku melonjak pelan dan spontan menoleh keasal suara. "Aku tidak jadi pergi."

"Kenapa ?"

"Ada beberapa tugas yang harus aku selesaikan." Jawabaku sembari melirik laptop dan beberapa buku yang sudah tertata rapi di meja.

Jiyong mengangguk paham setelah mengamati meja lalu pria itu ikut bergabung dan menyimpan tubuhnya di sebelahku.

"Kau pulang lebih awal." Cibirku setelah melirik jam di ponsel belum genap diangka empat.

"Kau tidak suka aku pulang lebih awal ?" Ia bertanya dengan nada sinis.

Jelas aku meliriknya dengan tatapan jengah. "Apa aku baru saja mengatakan itu ?"

Jiyong meliriku singkat lalu beralih mengambil gelas berisi coklat panas yang sebelumnya aku buat. "Tatapanmu begitu ketara." Balasnya seolah aku benar-benar seperti apa yang ia katakan.

Aku terkekeh kecil melihat tingkah pria ini. "Mau kubuatkan kopi ?"

Dia menggeleng seusai menyesap isi dari gelas yang ia bawa. "Kenapa kau tak minum kopi ?" Tanyanya setelah kembali menyimpan gelas di atas meja.

"Tubuhku tidak bisa mencerna kopi dengan baik."

"Itu mengapa kau kesakitan ketika kita bertemu di restaurant." Pria itu menatapku seolah menerawang kejadian beberapa bulan lalu saat pertemuan pertama kami untuk berdiskusi.

Oh God! Dia mengingatnya dan itu membuatku malu. "Itulah gambaran ketika aku minum kopi."

"Kau bilang ingin mengambil sepatu."

Jika boleh jujur, dia sedikit random sore ini. "Hm, tadi aku pikir akan mampir mengambilnya setelah pulang dari kampus tapi nyatanya aku gagal keluar."

"Tugasmu belum selesai ?"

"Baru selesai."

"Ayo pergi ambil pesanan sepatumu."

Aku buru-buru menoleh pada Jiyong dengan keheran yang mungkin terlihat gamblang di wajahku. " Sekarang ?"

"Hm, ada beberapa barang yang harus aku beli."

"A begitu, kau sudah makan ?"

"Belum."

"Ingin makan dulu sebelum pergi?"

Light in the DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang