WHAT IF [1]

249 29 7
                                    

Secangkir kopi pahit berhasil mengukir senyum manis di ranum Jiyong. Netranya memang masih sibuk bercumbu dengan layar IPad namun, senyum coba Ia lempar untuk mengapresiasi afeksi dari sang istri.

"Thank you, baby." Masih dengan kesibukan meneliti berkas, Ia berucap tulus tanpa menoleh kearah Dara. Sang gadis hanya mengangguk kecil sebelum kembali sibuk dengan desis pan yang memanggang daging. Morning Steak untuk pesanan sang tuan.

Agenda pemilu tinggal beberapa waktu lagi bersama pembukaan lima cabang resort milik Kwon Jiyong di tiga negara berbeda. Berhasil membuat kesibukan Jiyong menumpuk padat, terlebih setelah agenda liburan lima hari mendadak mereka di Kyoto, yang sempat membuat pekerjaan keduanya terbengkalai.

"Jadwalku berubah hari ini, jadi bisa ikut kamu ke Gangwon." Topik kesekian yang Dara buka setelah beberapa topik pagi ini mereka tuntaskan dengan baik.

"Sounds good, nanti aku jemput." Jiyong menanggapi dengan hangat meski pria itu tak menampakan wajahnya. Masih tenggelam dengan IPad dan ribuan kata di layarnya.

Dara hanya menanggapi dengan anggukan ringan sembari menata masakan di meja makan. Meninggalkan Jiyong di meja bar mereka. Dua piring steak berdampingan dengan gelas berisi air putih terhidang rapi di atas meja makan, giliran membuat Jiyong berpaling dari selingkuhan datarnya.

Satu kecupan ringan di pipi Jiyong berhasil merebut atensinya, pria itu tersenyum ke arah sang pelaku pencuri kecupan.

"Apa?" Pertanyaan polos itu lolos, bahkan setelah Ia kehilangan Ipad di tangan. Dara mengambil alih dan meletakan benda itu di meja panjang bar namun Jiyong tak kunjung peka akan situasinya.

"Makan dulu." Titah Dara pelan. Kini Ia sudah ulung soal mencuri kecupan dari sang pria, meski pipinya masih kerap panas setelah melakukan hal yang menjadi favorite Jiyong, Dara yang menjadi sedikit nakal.

"Boleh makan kamu aja?" Satu godaan lolos setelah Jiyong menahan Dara dalam dekap tubuhnya, memeluk gadis yang berdiri dihadapnya. "Jatahku tadi malam belum buat aku kenyang."

Bugh!

Satu pukulan kecil mendarat tepat di dada bidangnya, Dara memukulnya sebab gadis itu malu. Salahkan Jiyong yang menggodanya soal kegiatan rutin mereka setiap malam setelah hari itu, hari pengakuan Jiyong di Mansion utama.

"Aku tidak kenal pria mesum ini." Cibir Dara mencoba meloloskan diri. Jiyong melepaskan tubuhnya, membiarkan Dara berjalan lebih dulu ke meja makan sebelum Ia mengekor.

"But, you shouted my name last night, baby." Kejahilan lain lolos membuat Dara mencibir pelan. Part favorite Jiyong adalah berhasil membuat gadis itu mendumal setelah membuatnya kesal.

"Stop it!" Dara mendengus, menatap rupa Jiyong di sebrang dengan raut kesal.

"Haha noted, baby." Tawa Itu tak lagi hambar ketika bersuara. Mata penuh rasa dalam setiap sorot hangatnya. Jiyong kembali, menjadi dirinya.




.
.

Orang bilang, jika tutur kata bisa di rangkai sedemikian rupa untuk berdusta. Maka, sorot mata tak pernah bisa melakukan itu, manik akan slalu jujur sekalipun ranum mengalun layah mengucap kebohongan. Sorot tak bisa curang soal apa yang di rasa pemiliknya.

Petang ini, bersama dengan menggelincirnya matahari di ufuk barat, ada yang mengusik hati Jiyong. Ketenangan tak lagi berdiam nyaman dalam sanubarinya, anganya mulai berisik, sedikit terusik oleh Dara. Padahal yang dilakukan gadis itu hanya diam, menatap guci penyimpan abu di balik dinding kaca penyekat, milik Kiko. Jiyong sengaja mengajak Dara berkunjung di Columbarium Kiko setelah bertolak dari Gangwon untuk menyapa pusara sang ayah.

Sebab diamnya Dara tak dimaknai apik oleh Jiyong. Manik itu berhasil menaruh curiga setelah dirasa tak menemukan ketulusan dalam sorot hazel yang memandang kearah guci milik Kiko. Ntah Jiyong terlalu menaruh berekspektasi tinggi untuk ekspresi Dara atau gadis itu yang tidak bisa mengendalikan tatapanya sebab kebenaran yang Ia tau seolah di pertanyakan di sini, di depan abu yang ntah milik siapa.

Hangat yang sejak pagi Jiyong rasakan dari Hazel milik Dara, kini sirna. Hawa lain menyeruak masuk bersama perubahan sorot mata gadis itu. Hambar, Hazel itu hambar bahkan setelah beberapa saat mereka disini dengan Jiyong yang berkali-kali mencuri pandang ke arah Dara, memastikan jika kecurigaannya hanya angin lalu namun yang Ia dapatkan malah fakta yang memperkuat, dan kenyataan tersebut mengusik Jiyong, geramnya sedikit terpancing.

Tak pernah Jiyong dapati tatapan Dara yang seperti ini, bahkan pada mahluk hidup sekalipun. Lalu kenapa gadisnya bersikap demikian di sini? Di hadapan abu orang yang sudah meninggal, Jiyong cukup tau dimana mereka sekarang namun ini bukan alasan kuat bagi Dara bersikap demikian. Rasanya, membawa Dara kemari, mengenalkan Dara untuk pertama kali pada pemilik hati sebelumnya adalah kesalahan besar bagi Jiyong. Pria itu sedikit menyesal.

Cemburu? Untuk apa Dara cemburu, lagipula jika di jabarkan, itu bukan sorot cemburu. Tatapan hambar tanpa empati milik Dara tak bisa di benarkan Jiyong, apapun alasan gadis itu nantinya, Jiyong tidak akan membenarkannya.

Angan memaki hebat, bertarung sadar dengan hati yang bergejolak. Dara hampir kabur jika saja setitik kewarasan tak tersisa dalam dirinya. Mengabaikan bahkan tidak tau soal semua kecurigaan yang tertaruh apik pada dirinya. Dara mulai memejamkan netra, mencari tenang dalam doa yang Ia bingkai sedemikian rupa dalam hatinya. Bukan untuk ketenangan abu di hadapannya, melainkan untuk ketenangan hatinya. Ia menunduk dengan tangan saling bertaut.

"Sudah?" Tutur mencoba menutupi gejolak dalam hati. Jiyong tak ingin merusak hari ini, meski gadisnya seolah memancing lebih dalam lagi, dengan tatapan yang tak bisa Ia uraikan, yang jelas ada kesal disana, dalam Hazel indah Dara.

Gadisnya menoleh, mengangguk kecil sebelum meraih tangan Jiyong untuk Ia genggam. "Kita akan kemana lagi?" Cicit Dara membuat sang pria menarik halus tanganya, membimbing langkah mereka untuk beranjak dari tempat dingin ini.

"Aku ingin bicara denganmu." Selarik kalimat lama, tiba-tiba hadir. Menyapa rungu Dara, menstimulus degup jantungnya.

Sepatah kalimat itu, slalu berhasil sebagai pembuka-- pembuka setiap diskusi canggung keduanya, di masa lalu, ketika rasa belum terlibat seutuhnya.

TBC.

Hai, apa kabar? Terimakasih sudah mampir dan support tulisan ini, ya 💛

Sengaja di bikin pendek biar part selanjutnya ngga terlalu panjang, ehehe. Ngga janji juga bakal pendek atau panjang 🙈

Sehat dan bahagia slalu, ya. See you very soon, happy weekend 🤗

Light in the DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang