SICK

209 29 6
                                    

Rasa perih lebih mendominasi ketimbang rasa nikmat yang seharusnya menjalar dalam diri. Tengkuk yang tak lagi direngkuh lembut ditambah rasa besi yang mulai menghampiri. Jiyong benar-benar menyalurkan emosinya dan Dara merasakan itu dari perlakuan kasar pria ini, tak ada kata ampun sekalipun ia berusaha mendorong tubuh Jiyong, nafasnya tersengal dengan degup jantung tak karuan. Namun Jiyong masih membabi buta, enggan melepaskan mangsa manisnya sekalipun gadis itu berusaha melepaskan tautanya, hingga rasa asin yang tak asing menyapa lidahnya, ia kecap rasa itu untuk memastikan hingga ia tersadar, gadisnya terluka, karenanya.

Grep

Hampir kehabisan oksigen membuat Dara bernafas kasar, menghirup rakus udara ketika Jiyong melepaskan tautanya lalu membenamkan wajah mungil itu di dada bidangnya. Hening menyapa kala Dara memilih tak bersuara untuk menenangkan gemuruh hatinya sedangkan Jiyong terdiam, teramat merasa bersalah setelah apa yang dilakukannya, ia hanya bisa merengkuh tubuh mungil ini erat tanpa suara.

Dara berhasil mengumpulkan keberaniannya untuk melepaskan diri dari kungkungan erat Jiyong, hazelnya-pun kian berani menatap manik yang terlihat sedikit kebingungan. "Bisa aku bicara sekarang?" Lirih Dara dengan bibir yang begitu bengkak dan basah, bercak darah timbul sedikit diantaranya. Cukup membuat manik itu mengercap tak percaya. Jiyong jelas memaki dirinya sekarang.

"Nanti, aku obati dulu." Jemari Jiyong mengusap bibir itu pelan, sangat berhati-hati seolah benda itu akan rapuh karenanya.

Seulas senyum kembali terlempar dengan gelengan kecil di kepala. "Dengarkan aku dulu." Ulang Dara dengan rengekan kecil.

"Apa?" Suara Jiyong melirih, takluk dengan rengekan Dara.

Dara meneguk salivanya sendiri sebelum berbicara, mencoba menenangkan degup jantung yang menggila. "Aku minta maaf untuk masalah kemarin." Ia meringis pelan tanpa sengaja, nyatanya rasa perih kembali datang tanpa di minta.

Jiyong menghela nafas pelan sebelum membenahi beberapa anak rambut yang jatuh di dahi Dara. "Kenapa kau berbohong?"

"Agenda ujian tiba-tiba di rombak dan aku tidak ingin mengganggu pekerjaanmu." Lagi ringisan itu menampak samar dengan luka jelas di bibir ranumnya.

"Then?"

Dara mengamati wajah Jiyong sesaat dan tersadar, ada bercak darah di bibir pria itu. "Jadi aku harus melakukan apa yang aku lakukan kemarin." Diusapnya bibir Jiyong pelan, menghapus noda darah yang sepertinya milik gadis itu.

Yang diusap hanya mengangguk kecil dengan sorot mata redup. "Sudah?" Ia memastikan karena ingin segera mengobati ulahnya. Jiyong hanya sedang menahan diri sejak tadi, untuk tidak mengangkut gadis itu agar ia obati, sejujurnya ia sudah tak butuh penjelasan Dara, ia sudah tau.

Dara menaikan sebelah alisnya, cukup heran. Apa hanya ini yang Jiyong ingin dengar? Setelah semua amarah pria itu. "Kau tidak marah lagi?" Tanyanya polos membuat Jiyong mengusak kepala Dara gemas.

"Asal kau tidak mengulanginya, aku benar-benar benci saat seseorang mengabaikan perintahku." Ia tak segan menatap Hazel itu serius. "Mengabaikan panggilan atau pesan, bahkan berani mematikan ponsel." Lanjutnya.

Gadis yang diberi peringatan hanya tersenyum ringan. "Apa aku boleh bertanya?" Suaranya sedikit ragu dengan sorot mata penuh tanya.

"Apa?"

"Apa terjadi sesuatu saat aku pergi ke Mokpo?" Tanya Dara hati-hati. Sedikit was-was jika sesuatu telah terjadi, sedikit tidak masuk akal jika Jiyong tiba-tiba datang ke Seoul dini hari padahal seharusnya pria itu tak tau keberadaannya.

Kalimatnya berhasil menghentikan jemari yang membelai lembut kepala, manik yang kemudian mengercap dengan mulut terkatup rapat. Cukup berhasil memancing curiga Dara yang tak lepas menatap pria dihadapanya.
"Kenapa?" Lagi gadis itu melempar tanya kala tak ada jawab yang menyahutnya.

Light in the DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang