D-1

224 33 2
                                    

8Pm

Dara kembali termenung setelah acara bidston, gadis itu lebih banyak diam diantara keluarga kecilnya yang tengah berkumpul saat ini.

Pikirannya banyak disita oleh Jiyong, bukan karena ia menaruh hati atau yakin pada pria tersebut, sebaliknya.

Dara ragu, apakah pria itu akan membimbing dan mendampingi hidupnya hingga nanti, Dara sadar pernikahan yang akan terlaksana besok, bukan atas kehendak mereka berdua atau bahkan cinta, meskipun begitu Dara juga tidak berharap bahwa ia akan melangsungkan resepsi kedua di dalam hidupnya. Gadis itu hanya ingin satu kali, meskipun bersama orang yang tidak ia kehendaki sekalipun. Seegois itu dirinya untuk kebahagiaan sang ibu.

Namun, setelah melihat betapa antipati pria tersebut pada agama yang ia anut membuat perasaan Dara bergemuruh, ia salah menganggap perkataan Jiyong beberapa hari lalu sebagai sebuah gurauan semata, nyatanya tidak! Pria itu menunjukkannya hari ini. Meskipun tidak kontras, Dara bisa melihat dan merasakannya dengan jelas.

Beberapa jam yang lalu, tepatnya di apartemen milik Dara, acara bidston atau doa bersama di malam hari sebelum resepsi dilaksanakan. Jiyong datang karena memang acara tersebut mengharuskan sepasang mempelai hadir, disaat Dara, Jo Won, Kyung Ran, Gi Ran, Dami, Jenny, Bom, Grandpa dan Grandma melantunkan puji-pujian dan doa bersama yang dibimbing oleh pendeta, Jiyong lebih memilih mengundurkan diri, dengan beralasan mengangkat panggilan di balkon atas apartemen Dara. Lalu, apakah panggilan lebih penting dari acara Do’a, pikir Dara.

Terlebih saat Dara tidak sengaja ke atas untuk mengambil sesuatu, ia tidak mendapati Jiyong tengah sibuk dalam jalur panggilan, melainkan pria tersebut tengah sibuk menghisap rokoknya. Dara ingin tau, apakah Kyung Ran paham akan hal ini, dan tetap bertahan pada pendiriannya atau ibunya tersebut belum tau hingga tetap melaksanakan janji suci besok. Tapi, berfikir bahwa Kyung Ran tidak tau rasanya sangat mustahil! Mengingat wanita paruh baya itu amat selektif dalam memilih, melihat Jiyong yang beralasan dan lebih memilih mengangkat panggilan dibandiing melantunkan do’a pastilah tidak luput di mata Kyung Ran. Kepala Dara ingin meledak rasanya. Gadis itu tidak main-main soal agama.

Meskipun disisi lain Dara cukup yakin dengan keseriusan Jiyong,  terlihat dari bagaimana pria itu mempersiapkan keperluan resepsi, ditambah Jiyong juga rutin mengikuti katekisasi pra-nikah dengan Dara. Meskipun Jiyong meminta tempat khusus selain Gereja untuk mengikuti prosesi tersebut.

“Dee...”

Dara merasa pundaknya disentuh oleh orang lain, untuk itu ia menoleh dan benar saja, Dara mendapati lelaki tua yang sangat ia hormati tengah memandangnya dalam dengan senyum hangat yang mengembang.

“Grandpa...” balas Dara, ia mengedarkan pandang dan tak mendapati siapapun berada di ruang tengah ini, hanya ada mereka berdua sekarang.

“Kau ragu?”

Dara tersenyum simpul. “Bisakah aku ragu, saat acaranya terlaksana besok?” tanyanya ntah pada siapa.

Pria tua itu duduk disamping Dara, merangkul pundak gadis itu hangat. “Grandpa juga tidak tau pasti apa alasan ibumu begitu yakin dengan pria itu.” Park He Young mengusap surai Dara penuh kasih, “kau tau ibumu sangat selektif, jadi Grandpa juga yakin.” Tungkas lelaki itu membuat Dara meliriknya datar.

Dara semakin tidak dapat merangkai kata, orang selanjutnya yang ingin ia dengarkan sarannya memberikan jawaban yang hampir sama dengan orang-orang sebelumnya, jadi harus bagaimana dia? Katakan!

“Kau memikirkan kepercayaanya? Jika itu yang sedang kau kwatirkan---” He Young menatap Dara lurus, tatapan yang mengisyaratkan keseriusan, “Ingat ini Dara! Kita tidak pernah tau apa yang telah mereka lalui hingga saat ini, jangan pernah menyamakan atau bahkan membandingkan bagaimana cara kita menghadapi  suatu masalah hingga sanggup bertahan dengan kepercayaan kita saat ini, mungkin dia sedikit berbeda dan kehilangan arah—"

Light in the DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang