D-3

248 36 2
                                    

“Ayahmu bagaimana?”

DEG!

Sumpit yang ada di tangan Dara hampir saja terjatuh saat pertanyaan itu kembali menyambangi indra pendengarannya, pertanyaan yang sebenarnya sangat ia hindari.

“Dia sudah menikah lagi, jadi kakek yang akan menjadi pendampingku nanti” jawabnya setenang mungkin.

“Apa kalimatku menyakitimu?” tanya Jiyong lagi saat ia sadar air muka Dara berubah drastis setelah kalimat yang ia ucapkan sebelumnya.

Gadis itu menggeleng tegas “Aku hanya sedikit membencinya”
ungkapnya setelah menelan sushi miliknya, kalimatnya terdengar sangat jujur tanpa ditutup-tutupi.

“Kau bisa mengatakan hal itu saat pertama kali aku bertanya, jadi aku tidak perlu bertanya lagi” Keluh Jiyong yang terdengar seperti menyalahkan Dara.

Dara terpaksa menyunggingkan senyum simpulnya.

“Kau menannyakan itu saat waktunya kurang tepat, aku butuh mood yang bagus untuk membicarakan dia”

Kalimat yang baru saja Dara katakan membuat Jiyong mengulum senyum singkatnya, gadis unik. Batinnya.

“Jadi kenapa kau tidak mau mengucap janji di Gereja?” Dara menatap Jiyong penasaran, kini giliranya bertanya.

Gadis itu ingat betul bagaimana kesepakatan yang mereka buat untuk resepsi pernikahan, Jiyong menolak dengan tegas gagasan untuk ikrar janji di Gereja.

Pria itu mengendikan bahu sebelum menjawab “Jika aku menjawab, aku seorang yang tidak percaya Tuhan, kau hanya akan mengatakan itu sebagai alasan”

Dara terkekeh kecil mendengar penuturan Jiyong yang begitu acuh namun terdengar sangat jujur.

“Tatto di tubuhmu tidak menunjukkan hal itu Tuan”

Kenyataan bahwa beberapa tatto yang terukir di tubuh Jiyong menunjukan kepercayaan pria itu, rasanya sedikit aneh jika pria itu seorang Atheis.

“Aku akan menganggap itu sebagai kejujuranmu Ji” Dara meraih ponsel miliknya yang berdering.

“Tidak semua orang bertahan dengan Tuhan setelah beberapa hal mereka lalui” lanjut gadis itu tanpa bermaksud apapun, Dara bahkan tidak melihat Jiyong, fokusnya sudah beralih pada pesan milik Bom.

Berbeda dengan Jiyong yang memaknai perkataan Dara sebagai sesuatu yang sinkron dengan hidupnya, apa gadis itu tengah menyindirnya atau perkataan Dara hanyalah sebuah kebetulan yang sama seperti apa yang tengah terjadi pada Jiyong.

Jiyong kembali melipat kedua tangan di depan dada, pandanganya tidak bisa lepas dari Dara yang masih fokus pada benda datar di genggaman gadis itu.

“Kau ingin ikut denganku, Dara?” ucapnya tiba-tiba.

“Kemana? Aku sudah ikut denganmu dari tadi pagi jika kau lupa” sahut gadis itu acuh tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel.

Dara benar, memang sejak tadi pagi ia sudah bersama Jiyong. Pria itu mengajak Dara untuk berkunjung dipusara milik ayah Jiyong yang berada di Jeongseon,Gangwon.

Jiyong membawa Dara kesana atas keinginan Gi Ran, wanita paruh baya itu ingin supaya Jiyong mengenalkan calon istrinya pada mendiang sang ayah yang sudah lebih dulu pergi.

Jiyong berdecak pelan mendengar jawaban Dara, ia benar-benar tidak habis pikir dengan gadis muda dihadapannya tersebut. Hei apa Dara buta? Puluhan bahkan ratusan ribu wanita diluar sana mengantri dan sangat memuja Kwon Jiyong, berharap bisa pergi bersama pria itu, tapi Dara? Mengapa gadis itu begitu unik, mengabaikan Jiyong yang jelas-jelas berada dihadapannya, menganggap tawaran Jiyong sebagai hal yang sangat biasa.

Light in the DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang