20 : STATUS - LIBUR

217 42 21
                                    

"Dek? Tumben lo masak baunya agak enak."

Gio Anggara. Cowok dengan baju tidur biru tuanya itu masih menyipitkan mata sesekali menguap sembari berdiri di ambang pintu kamar. Ia memperhatikan kamar sebelah yang tertutup rapat sebagai pertanda tidak ada kehidupan. Ah, bukankah Nanta memang selalu menutup pintu kamar sama seperti Dikta dan Rean?

Seakan ada banyak barang penting saja di sana.

Nihil, bukan seperti yang Gio harapkan. Awalnya ia mengira Nanta akan mencoba masak menu makanan baru dan memamerkannya debgan hasil yang bagus, tapi yang ada ....

"Siang," sapa Rean, menoleh ke arah seseorang yang berdiri di ambang pintu dapur. Sesekali Rean membuka kulkas, mengambil beberapa bahan dan mempersiapkan bumbu di sana.

Gio memperhatikan jam sejenak, lalu mendengkus. Rean sedang menyindirnya, huh?

"Siang," balas Gio, membersihkan wajah sejenak lalu menggulung lengan panjang pada bajunya, berdiri di samping Rean. "Adek mana?"

"Belum bangun." Langsung saja Rean memberikan Gio spatula tanpa permisi terlebih dahulu. "Ke sini mau bantu gue, kan? Tolong aduk sayurnya, lo masukkan juga garamnya."

Sebelum Rean menyelesaikan bicara, Gio sudah terlebih dahulu menyecap rasa kuah dari sayur bayamnya. Wajah itu mendelik. "Nggak ada rasa ini, woi!"

"Bukannya gue udah bilang, bantu tambahkan garam?"

"Iya." Malas berdebat, Gio menurut saja. Memasukkan seperempat bumbu kaldu, garam serta sedikit gula. Ia letakkan kuah ke sendok sedikit lalu menyodorkannya ke arah Rean. "Gimana?"

Rean menyecap, lalu mengangguk. "Sempurna."

"Yo."

Bukan Rean yang memanggil. Apalagi Nanta yang tanpa embel 'Bang' itu. Satu-satunya orang yang memungkinkan adalah kelelawar itu. Dikta. Melihat raut wajahnya, Gio yakin abangnya itu baru saja tidur setelah sibuk berpacaran dengan laptopnya.

"Ganjelin perut lo dulu, nih!" Dikta yang berada di beberapa langkah, setengah melemparkannya ke arah Gio, ditangkap dengan hangat oleh adiknya itu.

"Asik, roti cokelat." Gio menyengir puas sendiri, membukanya lalu melahap, duduk di meja makan. "Adek udah makan, Bang?"

Dikta mengangkat kedua bahu. "Udah gue letak di kamarnya. Masih tidur dia."

Gio mengunyah makanannya dengan cepat, meneguk segelas susu yang telah disediakan Rean sebelumnya, tidak lagi hangat. "Lo tidur jam berapa dah, Bang?"

Dikta yang memperhatikan Rean, menoleh sejenak. Ikut menggeser kursi kayu di meja makan. "Baru tidur gue."

"Kalau, tuh, orang?" tanya Gio, mendelik pada Rean yang fokus memotong daun bawang.

"Lo tanya aja sendiri."

"Bang Rean!"

Nihil, tidak ada jawaban dari Rean.

"Melamun lagi pasti nih orang," desis Gio, bangkit menghampiri. Benar saja, tinggal tersisa sedikit lagi daun bawang yang dipotong dan jika tidak sadar bisa saja jari itu juga ikutan terpotong. "Bang! Itu jari elah! Bukan sosis!"

"Eh?" Rean tersentak, lalu memejamkan mata sejenak. "Apaan? Sarapan dulu lo sana."

"Lo tidur jam berapa?"

"Empat," jawab Rean, jujur. Kembali memperketat tali celemek lalu menumis beberapa bumbu yang telah ia siapkan sebelumnya.

"Bukan manusia, nggak heran kalau kalian berdua udah nge-drop bakal tiduran terus," gerutu Gio, kembali duduk, menyodorkan segelas susu miliknya yang tersisa setengah. "Bang Dik mau?"

Brother Notes [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang