61 : PERAGAAN BUSANA

244 26 21
                                    

"Dek! Masa style gue kayak Om Ben gini! Nggak mau gue!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dek! Masa style gue kayak Om Ben gini! Nggak mau gue!"

Berapa puluh kali, baik Rean, Dikta, maupun Nanta mendengar keluhan yang sama. Dari belakang ruang peragaan busana, tampak beberapa baju hasil buatan yang tadinya ditata rapi di rak gantungan khusus, kini mulai dikenakan oleh para model.

Tak terkecuali Gio dan Rean.

Gio dengan outfit pantai, dan kacamata hitam sebagai penghias. Ingin rasanya Nanta tertawa pelan, memang benar Gio paling anti sama kacamata hitam, entah apa alasannya, tetapi yang pasti cowok itu selalu mengatakan norak, senorak Om Ben yang menjadi musuh keduanya selain Rean.

Dikta yang tadinya mengkoordinir bagian musik serta pencahayaan di depan, langsung saja menjitak kepala Gio dengan kuat. Nyaris membuat rambut yang sudah ditata dengan baik kembali berantakkan. Gio menoleh seketika dari cermin di hadapan.

"Bang!" keluh Gio, mendengkus. "Gue mau yang kayak Bang Rean, elah! Jas! Kemeja! Dasi! Mana punya pasangan pula! Haish! Nggak adil."

Sekali lagi Dikta menjitak, jauh lebih kuat. "Lo juga punya pasangan."

"Tapi, nggak sama Nesya, kan?" Bibir bawah Gio terangkat, cemberut. "Lagian Nesya juga nggak mau, sih. Dia milih bantu koordinir acara sama lo."

"Dah, jangan milih-milih lo-nya. Lo mau memangnya diambekkin Nanta habis ini? Susah ngebujuk dia, Yo. Tegapin badan lo."

Mau tidak mau, Gio menegapkan badan, raut wajah kesal masih tertera, lalu memperhatikan seseorang dengan dress wedding dari pantulan kaca. "Bang, lo benaran punya rasa sama Kak Naya?"

Dikta langsung melongo mendengar pertanyaan. "Hah? Kak Naya bukan tipe gue."

"Kemarin waktu peringatan acara ulang tahun perusahaan, Bang Rean cemburu berat kayaknya lihat lo jalan barengan mulu sama Kak Naya. Nggak ada persaingan di antara lo berdua, kan?"

Dari belakang kursi, Dikta membungkukkan tubuh, memperhatikan pantulan wajahnya di cermin begitu juga Gio. "Yo, besok-besok kayaknya remot televisi biar gue yang dominasi, dah. Lo kebanyakkan nonton drama."

"Jangan, elah!" Gio menghentakkan kaki. "Entar gue disuruh nonton berita mulu sama kalian! Mumet pala gue. Cukup hadapi buku-buku, terus ... lo tau Bang Dik? Sekaku itu ternyata Bang Rean mimpinnya. Gue ingat waktu dia kunjungi anak perusahaan, bisa-bisanya itu ruang percetakan lagi berisik-berisiknya langsung diam, woi! Titisan es serut emang, tuh, orang!"

"Daripada lo, kayak nenek-nenek. Ngomel mulu."

Bukan balasan dari Dikta, anak kedua itu diam-diam saja sekarang sembari memperhatikan jam di tangan. Melainkan Rean, lelaki itu mengancingkan lengan kemeja di balik jasnya, sesekali membenarkan letak bunga yang berada di saku kiri.

Dikta menepuk bahu keduanya. "Gue pergi dulu dari sini, masih ada yang mau gue urus. Lo berdua akur-akur, mengerti? Kalau nggak akur, gue sita kunci ruangan di rumah."

Brother Notes [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang