12 : PEMIMPIN CADANGAN

233 40 2
                                    

"Bicara tentang agenda liburan, bisa tolong ditunda tiga minggu setelah peringatan hari ulang tahunnya penerbitan?"

Ranaya. Gadis berusia sebaya dengan Rean itu tersedak sesaat. Ia yang sedang menikmati jam istirahat dengan makan siang, terpaksa lagi-lagi harus mendengar perintah maupun usulan yang keluar dari mulut Rean. Tidak cukup mendata beberapa yayasan yang akan diberikan dana bantuan sebagai program CSR perusahaan, dan sekarang?

Naya menatap pasrah, seakan meminta tolong untuk tidak membahas masalah terkait pekerjaan di hadapannya, tapi pada akhirnya ia terpaksa mengangguk. Bagaimana juga, meskipun ia pernah menduduki posisi spesial di kehidupan Rean, hubungannya sekarang dengan lelaki itu hanya Rean sebagai pemilik perusahaan sekaligus direksi, dan ia  sekretaris.

"Nay ...."

Naya yang baru saja hendak menyuap tepung crispy dari ayam geprek yang ia pesan online, kini menoleh kembali, mengangkat kedua sudut bibir dengan terpaksa.

Selamat, kali ini bukan lagi mengungkit masalah perusahaan. Rean yang tadi berkutat dengan laptop, kini menutupnya. Sebagai ganti, lelaki itu membuka sterofoam yang berisi nasi putih dan ayam. Menu yang sama seperti Naya. Meskipun terlihat dapat mengatur segala hal sendirian, Naya benar-benar tau apa masalah utama yang dialami Rean, tetapi dapat dengan mudah orang lain melakukannya.

Memesan makanan. Melihat menu dan berbagai jenis makanan yang tersedia, kadang kala membuat lelaki itu kelimpungan untuk memilih yang mana.

"Masih suka kulit ayam?" tanya Rean, sesekali mendelik saat melihat lauk pauk di hadapan. Bau aroma cabe menusuk hidungnya, sepertinya Rean harus berpikir dua kali untuk mengikuti Naya kali ini. Makanan pedas dengan minuman bersoda? Sungguh, Rean tidak berbaik hati mengantarkan nyawanya ke gerbang kematian.

Naya mengangguk, heran. "Masih, kenapa?"

"Saya nggak mau," ucap Rean, bangkit. Lelaki itu tidak lagi duduk di kursi khususnya, melainkan saling berhadapan dengan Naya yang berada di sofa.

"Thanks." Naya tersenyum senang. "Kamu sendiri mau ambil apa? Mentimun?"

Rean menggeleng. Tidak cukup menyodorkan bagian kulit ayam yang ditepungkan, tetapi juga membagi ayam menjadi setengah potong lalu menyodorkannya kepada Naya. "Habiskan."

Naya mengerjapkan mata, dengan makanan yang masih penuh di mulutnya, gadis itu berbicara. "Kamu nggak mau? Nggak suka?"

"Bukan gitu," gumam Rean pelan, mengambil dua gelas air minum sejenak lalu meletakkan di meja. "Kenyang."

"Kenyang?" ulang Naya, heran. "Kamu dari pagi, terus kita ke perusahaan lain buat jalankan kegiatan  kerjasama, semua itu butuh tenaga."

"Saya cuma butuh istirahat."

"Kamu baik-baik saja?" tanya Naya, mengangkat wajah yang sedari tadi tertunduk. "Ada masalah?"

Rean menggeleng, tersenyum tipis. Ya, ia akan menjawab tidak, jika saja saat ini pintu ruangan tidak dibuka secara tiba-tiba dan menampilkan tatapan tajam di balik kacamata dengan bulir keringat yang menyelimuti bagian wajah, seperti baru saja berlari tergesa.

Dikta.

___


Rean melonggarkan dasi sejenak, lelaki itu baru saja membuang sampah bekas makanannya lalu kembali menutup pintu ruangan, bersendawa. Tatapannya yang tenang sekarang, sungguh kontras dengan seseorang yang duduk di sofa sana.

Bukan Naya, gadis itu telah keluar entah ke mana, tapi Dikta. Tubuh itu mencondong, mencengkeram kedua tangan dengan erat satu sama lain.

Brother Notes [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang