54 : BERDAMAI TIDAK SEMUDAH KELIHATANNYA

230 40 8
                                    

"Bang! Udah selesai! Gue ke rumah Nesya dulu! Mau bayar PS!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Bang! Udah selesai! Gue ke rumah Nesya dulu! Mau bayar PS!"

"Tutup pintunya rapat, Yo!" balas Dikta, berteriak dari lantai dua. Entah Gio akan mendengarnya atau tidak, yang pasti bukan itu urusan pertamanya, melainkan orang di sampingnya ini.

Rean.

"Re? Udah agak tenang?" tanya Dikta, terus menepuk punggung tegap itu dengan pelan, membiarkan Rean menghirup aroma mint dari minyak yang disodorkan. "Sorry sebelumnya, gue telepon Om Ben tadi. Dia nyuruh lo kosongin jadwal seminggu."

Rean yang duduk di tepian kasur sembari meringkuk, kini menegapkan tubuh. Buru-buru Dikta kembali menjelaskan saat melihat ekspresi wajah si kepucatan Rean. "Lo harus banyak buat keputusan, kan? Kalau keadaan lo sendiri lagi kayak gini, entah apa keputusan yang bakal lo buat."

Rean mengacak rambut dengan gusar. "Kalau soal kerjaan gue bi--"

"Lo nggak bisa," tekan Dikta, menatap tajam. "Ingat? Om Ben bilang, akhir-akhir ini nggak ada keputusan terbaik yang lo buat. Om Ben memang baik sama keluarga kita, tapi lo nggak boleh lupa kalau dia juga manusia."

Rean tertunduk, mengembus napas panjang. "Dik--"

"Dia nggak bakal segan keluarkan lo kalau dianggap menjadi ancaman perusahaan. Memangnya lo mau? Nama baik lo, nama kita semua terancam terus di-blacklist dalam kerja sama?"

"Nggak," gumam Rean.

"Makanya istirahat dulu lo," gerutu Dikta, menepuk pundak Rean. "Apa yang bisa gue bantu, hm? Lo mau jalan biar nggak sumpek? atau mau ke kafe gue sama Reyhan? Lo bisa makan, kalau mau nyanyi juga boleh."

Sebelah sudut bibir Rean terangkat. "Bisa di-blacklist  benaran, Dik. Udah batalin rapat tiba-tiba, gimana kalau waktu gue keluar malah ketemu rekan yang bersangkutan?"

Membayangkannya saja Dikta mendelik. Beruntunglah, orang sepertinya sama sekali tidak berniat dengan kegiatan memimpin seperti itu. Memang menjadi pemimpin terlihat hebat, tapi Dikta cukup sadar diri, ada banyak hal yang harus dikorbankan, dan ia tidak sanggup mengorbankan banyak hal terlebih lagi harus menyita waktunya untuk keluarga terdekat.

"Gue mau istirahat, tapi nggak yakin bisa tidur sekarang. Seandainya bisa, gue takut maknanya sudah berubah jadi yang lain," gumam Rean, setengah menatap lantai dengan pandangan menerawang. "Gimana kalau taman belakang rumah? Terakhir kali gue duduk di sana waktu ngobrol sama Nanta."

Pada akhirnya, kedua orang itu menuju halaman belakang rumah. Taman indoor dengan atap kaca yang memudahkan masuk cahaya, tapi untuk udaranya ... Dikta sedikit mengutuki, memperhatikan celah ventilasi. Desain rumah dengan konsep alami seperti apa ini?

"Nih, tanda terima kasih udah bantu gue tadi."

Secangkir teh hangat disodorkan, begitu juga dengan beberapa tangkup roti bakar yang tersisa pagi. Dikta melirik, setengah mendesis. Bagaimana bisa setelah apa yang terjadi, Rean dapat menyesap minuman dengan tenang?

Brother Notes [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang