55 : IA YANG MENCOBA MENGURAIKAN MASALAH

197 37 13
                                    


"Jadi, bukan karena itu ...."

Entah untuk berapa kali Rean menggumam. Mata bundarnya membulat sembari menerawang kosong memperhatikan meja kerja. Ya, hari di mana tidak seharusnya ia ke perusahaan, tetapi entah mengapa dalam hatinya mengakui bahwa ini satu-satunya tempat terbaik yang ia punya.

Sulit dipercaya, ternyata ia tidak membenci bangunan ini.

Rean menggeleng pelan, bersandar, sembari menggulungkan lengan kemeja yang tadi terulur panjang. Lebih sulit dipercaya lagi kalau ternyata masalah terbesarnya memang terletak pada diri sendiri, meskipun sesekali ingin menyalahkan orang lain, tetapi rasanya tidak mungkin.

Banyak orang yang terlibat dan bersalah, lalu setelah ia mengetahui, apakah semuanya menjadi membaik? Tidak. Rean menggeleng pelan, melipatkan kedua tangan ke meja lalu membenamkan wajah di lipatannya.

Pada akhirnya kalimat untuk tidak terlalu mencari tau banyak hal yang seringkali ia tujukan untuk Dikta, kini tertuju untuknya.

Suara geseran pintu terdengar. Sontak saja membuat Rean sedikit bergerak, mengintip dari celah benaman, memastikan siapa yang masuk ke ruangan.

"Rean? Kamu bukannya--"

"Saya hanya ingin ke sini," jawab Rean langsung, membenarkan posisi duduk. "Untuk jadwal, tolong tetap kosongkan. Akan saya selesaikan masalah-masalah itu mulai minggu depan."

"Baik," jawab Naya. Tanpa berbicara lagi setelahnya, gadis itu berjinjit, mengambil beberapa berkas di lemari kaca, lalu setengah membawa ke dekapan.

Tak ada pembicaraan jauh lebih lanjut dari Naya. Jika boleh jujur, Rean merasa kehilangan, biasanya di saat seperti ini Naya tidak akan henti mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. Mulai dari kondisi apakah ia sedang ada masalah? Sampai memaksanya untuk makan siang di jam istirahat, dan ....

Rean terdiam, menggulir ruang obrolan di ponselnya. Ya, tidak ada lagi cerita yang tidak penting yang kerap kali Naya spam setelah urusan pekerjaan selesai.

Seandainya Naya tahu alasan ia menjauhi gadis itu ....

Namun, jika tahu memangnya apa yang Rean harapkan? Biar gadis itu tahu perjuangannya dalam melindungi? Tidak penting, malah yang ada ia menyakiti gadis itu dengan fakta yang ada. Bagaimana juga, Rean tidak ingin hubungan keluarga gadis itu retak begitu saja, tapi bukankah setiap orang mempunyai cara tersendiri untuk mempererat kembali hubungan?

Naya bukan sepertinya. Sedari dulu tidak pernah Rean lihat, gadis itu membenci seseorang. Jika memang tidak menyukai, maka akan membicarakannya selagi bisa, tetapi jika memang tidak memungkinkan maka akan menjauh dengan perlahan. Gadis itu tidak menyimpan dendam dan dibesarkan dengan baik.

Mana mungkin ia tega menyakiti dengan fakta yang pernah ia hadapi? Namun, dengan cara seperti ini bukankah ia juga menyakiti gadis itu? Tidak ada lagi senyum yang ditujukan, sorot pandang itu berubah seakan menjadi lebih sendu.

Bingung. Rean menarik ujung rambut dengan erat, sembari memperhatikan punggung kecil Naya. Bagaimana Ini? Egonya juga ingin tetap ada gadis itu di sisi, tertawa bersama seperti dulu, menceritakan banyak hal kecil, tidak peduli seberapa tingkat pentingnya pembicaraan itu, tetapi di sisi lain?

"Naya," panggil Rean akhirnya. Secepat mungkin bangkit, menahan sebelah tangan Naya ketika gadis itu hendak menggeser pintu ruangan, menuju jalan keluar. "Ada hal pribadi yang mau saya bicarakan."

Naya mengangkat kepala, memperhatikan raut wajah Rean yang tertunduk menatapnya. "Apa?"

"Apa ada orang lain di hidup kamu?" gumam Rean.

Brother Notes [PROSES TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang