48. Masih

1.2K 133 25
                                    

Jalannya waktu cepet banget, nggak sadar sebulan nggak update. Hehe.

2,5k kata, semoga ga bosen😀

Selamat membaca!

Jika berpergian, tak afdal rasanya bila tidak berpamitan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jika berpergian, tak afdal rasanya bila tidak berpamitan. Kebiasaan dulu ketika sebelum merantau di kota orang, pamitnya dengan orang tua di rumah. Kalau sekarang memang tidak ada orang tua yang tinggal seatap dan bisa dipamiti, tetapi bagi Tian masih ada teman dekatnya yang bisa dipamiti. Jadi, sebelum pergi, ia pasti menyempatkan diri untuk mencari Chana dan berpamitan kalau dirasa Chana tidak berada di luar kos.

"Lihat Jamilah?" tanya Tian kepada Andhya yang duduk di sofa ruang tengah. Dia sedang membaca buku.

Andhya belum menjawab, Chana lebih dulu muncul dari balik dinding yang membatasi ruang tengah dan ruang tamu.

"Apa?"

"Oh, ada."

"Lo ngapain nyariin gue? Mau makan?"

"Udah kayak sama Emaknya," sahut Hegar dari dapur. Sejak tadi memang duduk di sana menikmati nasi dan sambal teri.

"Jamilah itu emang temen merangkap ibu gue."

"Ora sudi dadi ibukem," balas Chana. "Males gue kalau punya anak kayak Tian. Dikasih uang saku bukannya dipake makan tapi dipake beli bensin buat nyetrika jalan."

Lagi-lagi Hegar menyahut. "Kalau Tian makan uang, serem dong, Chan?"

"Ihhh." Chana duduk di samping Andhya dengan agak kasar membuat Andhya yang sedang fokus membaca buku terkejut.

"Maksud gue, uangnya dipake buat beli makanan."

"Ngapain beli makanan kalau gue bisa masak makanan sendiri?"

Mendengar ucapan Tian, Hegar tertawa sangat keras. Hal itu membuat bibir Chana mengerucut. "Mboh, karepmu!"

Kalau sudah begitu, Tian yang repot. Untung dia terbiasa. Tidak terkejut bila mendapati Chana tiba-tiba merajuk atau marah karena hal-hal sepele.

"Masa marah perkara uang nggak dipake beli makanan?"

"Nggak gitu! Lagian, siapa yang marah? Gue cuma kesel."

Sementara Hegar dengan berani kembali bersuara, "Mbak Andhya, kaum lo ribet banget."

"Kaum lo lebih ribet, Gar," ujar Andhya yang sebenarnya malas menanggapi Hegar. Dia jadi lupa tadi membaca sampai bagian yang mana.

"Mana ada?"

Melupakan Hegar dan Andhya yang bersahut-sahutan, Tian berkata, "Ini gue mau pergi, nggak tenang kalau lo marah—ralat, nggak tenang kalau lo kesel begini."

Chana menarik napas lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Tidak ada habisnya kalau dia terus seperti itu. Jadi ia menjawab, "Gue udah nggak kesel."

"Bener?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 12, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PRATALA & PRATIWITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang