Kamar 15: Kamar di Lantai 1

23 4 0
                                        

Beberapa minggu ini ada perubahan dalam diri Inara, bisa dirasakan olehnya yang tak terlalu kepikiran akan ancaman dari para pembully ketika berjalan keluar kamar. Tekanan tentunya masih Inara miliki, namun kini perlahan ia bisa berjalan di sekitar asrama sendirian tanpa ragu.

Seingatnya ini jam 07.30 dan kelasnya terletak tepat jam 09.00 masih ada waktu untuk Inara bersantai. Berhubung kamar 4 hanya ada Inara karena sisanya dengan kegiatan masing-masing, Inara memilih pergi ke minimarket buat sarapan. Kebetulan tak ada yang sempat memasak, jelas Zalwa telah diblacklist dari dapur karena mereka masih ingin hidup, sisanya Shopee ada kelas pagi, Kiara pemotretan bahkan telah pergi sejak jam 3 pagi, Nina juga harus berangkat kuliah sambil mengurusi bisnisnya, terakhir Felicia si bu PJ juga masih tepar di kasur karena kemarin full mengajar di SMA.

Sebenarnya bisa saja Inara membangunkan Felicia membuat sarapan bersamanya. Namun Inara masih punya hati tak membangunkan PJ kamarnya yang kelelahan. Lagipula ada minimarket dan warung mba Tia yang dapat menunjang perut mahasiswa sini 24/7. Dan sepertinya Inara sedikit dilanda gugup sekarang begitu sampai sana menemukan halaman minimarket yang terdapat meja-meja terisi penuh oleh anak asrama. Tentu saja tidak satupun dari mereka yang Inara kenal, bertatapan dengan satu dari mereka langsung Inara palingkan wajah gugup, merasa tak nyaman berlama dikeramaian seperti ini.

Memang belum sepenuhnya Inara bisa melangkah sendiri, tapi akan terus dicoba hingga ia terbiasa. Dorongan dari teman barunya sekarang lumayan ampuh memancing keberanian Inara, keberadaan kamar 4 cukup menjadi penegas kalau situasinya akan lebih baik dari masa lalunya, seseorang kini tak ragu mengulurkan tangan bahkan membantunya. Seharusnya cukup menjadi pengingat Inara untuk berubah juga, tak mungkin terusan mengandalkan mereka, Inara harus mampu bangkit.

Setidaknya itu tekad awal Inara. Namun sekali lagi diingatkan, rasa tertekan pada ancaman para bully masih menghantui jelas pikirannya, tubuhnya memang lebih ringan dari sebelumnya melangkah ke tempat tertentu sendiri, namun pertahanannya nyaris runtuh begitu berhadapan dengan pembully—bahkan hanya Hika yang berdiri di rak jajaran nasi—Inara mengambil langkah mundur dengan raut tak nyaman, terlebih saat Hika menubruk pandangan ke arahnya, seringai juga tercetak, ampuh mengeringkan tenggorokan Inara yang mulai cemas.

Segera Inara memilih memalingkan wajah, memejamkan mata beberapa saat sambil bertumpu pada rak di sampingnya. Ketakutan itu kembali dengan mudahnya, perlahan mengikis keberanian yang sempat berkobar, Inara meringis kecil. Mengutuk dirinya yang masih kalah dengan tekanan yang diberikan oleh Hika. Padahal gadis itu bahkan tak menyentuhnya, namun Inara seakan dicekik lewat tatapannya yang bak hewan buas mendapatkan mangsa.

Degupnya terasa kasar berdetak, sangat tak nyaman karena kin sirkulasi udara yang memasok napas memendek. Inara menepuk perlahan dadanya, mendengar derap di belakang yang mendekat membuat cengkramannya pada rak menguat, ujung jemari kakinya terasa basah. Tepat merasakan seseorang berdiri di sampingnya, Inara bergeming sambil mengatur napas, berusaha menekan kecemasannya. Orang yang ia ketahui Hika—meski tak melihat langsung—terasa mendekat, nyaris menghimpit tubuh Inara ke rak, bibir gadis itu telah berada beberapa inci di telinganya membuat bulu kuduk Inara meremang heboh.

"Ini yang kemarin lawan gue?" bisiknya penuh intimidasi, kekehannya seperti menyaring udara rakus, "sok banget, liat lo sekarang ngeringkuk kayak anjing."

Hika sejenak mengambil langkah mundur saat ada orang yang melintas, pura-pura mencari barang di sebelah Inara, menyungging senyum ramah pula pada orang yang lewat. Setelah memastikan sepi, Hika kembali bertatapan dengan Inara yang kini mulai balas menatapnya. Tatapan gadis itu masih sama takutnya, namum sedikit ada keberanian disana. Hika berdecak tak suka.

"Jangan ganggu aku," ucap Inara lirih, mulai memaksa dirinya balas menatap Hika. Dalam hati ia terus merapal magic word yang diajarkan Zalwa dan lumayan ampuh menenangkan.

Sektor 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang