Kamar 25: Pasar Malam

25 2 0
                                    

Oke, kita kembali ke masa ketika Ikawa mengajak Zalwa ke pasar malam.

Jadi ke duanya sebelum benar-benar ke pasar malam, mereka pergi ke suatu tempat. Zalwa sendiri engga tau kemana, Ikawa cuman bilang suruh ikut ajah tanpa banyak tanya. Zalwa menuruti itu, menikmati perjalanan sambil bersenandung kecil. Sesekali menjahili Ikawa dengan menusuk-nusuk tudung hodiee hitam Ikawa.

"Zalwa," geram Ikawa dengan suara sedikit keras. Ikawa semakin menggurutu saat mendengar kikikan menyebalkan dari Zalwa.

Bibir bersenandung bersamaan dengan mata menjelajahi jalanan. Kendaraan lewat silih berganti. Menjelang sore pun terik matahari terasa menyengat. Untungnya meski sama-sama memakai hodiee, angin sepoi yang berhembus cukup mengurangi rasa panas. Zalwa sesekali memberi sapaan pada pengamen di jalanan dan tak lupa memberikan sedikit uangnya. Tingkah konyol Zalwa sampai mengajak para pengamen anak kecil bertos ria.

Semua itu tidak lepas dari mata Ikawa yang mengamati terus. Dari balik maskernya Ikawa tersenyum tipis. Ada perasaan tenang ketika melihat gadis di belakangnya tersenyum ceria seperti itu. Tidak ada senyum kosong juga sorot mata kosong yang tidak Ikawa suka. Ikawa selalu tidak tenang bila mendapati itu.

Sekali lagi ketika di lampu merah, Zalwa menemukan ada Nenek-Nenek yang jualan tisu. Nenek itu sudah menawarkan ke beberapa kendaraan, tapi tidak kunjung ada yang membeli tisunya. Zalwa menggigit bibir bawahnya risau. Dilema akan uangnya sekarang. Antara kasihan ingin membelinya tapi ada kendala tersendiri.

Ikawa menyadari kegusaran sahabatnya. Menaikan pandangan guna melihat waktu lampu merah yang tersisa 35 detik. Lalu Ikawa segera memundurkan tubuhnya dan sedikit menoleh ke belakang agar Zalwa mendengar suaranya.

"Beli ajah," titah Ikawa seraya mengeluarkan uang lembar berwarna merah.

"Beneran?" kata Zalwa dengan mata membinar senang. Zalwa segera memanggil nenek itu. Karena sudah termakan umur, jalan nenek itu tertatih-tatih. Mengingat waktu lampu merah sebentar lagi habis. Zalwa yang gregetan langsung turun dari motor Ikawa dan menghampiri sang Nenek.

Bahkan Zalwa menepikan sang Nenek agar tidak tertabrak kendaraan jika lampu sudah hijauh. Zalwa mengambil dua tisu dan memberikan semua uang Ikawa. Tanpa mau kembaliannya.

"Tapi Nak, ini kebanyakan, Nenek engga bisa kayak gini." Nenek itu segera mencari kembalian untuk Zalwa.

Zalwa sesaaat terbengong di tempat, merasa takjub pada sang Nenek. Bagaimana ia jualan dengan jujur, tanpa mau mengambil lebih dari hasil jualannya.

"Zal gesit!" peringat Ikawa panik di tempat karena lampu merah tersisa 15 detik.

Zalwa menatap sang Nenek dengan lembut. "Nek, engga papa, ini rezeki Nenek. Anggep ini hadiah dari kejujuran Nenek dalam berjuang. Nanti kalau kita ketemu lagi, Nenek bisa kasih tisu lebih ke saya dan temen saya yang satu itu. Jadi ini hadiah buat Nenek yang hebat!"

Sang Nenek terlihat terharu di tempat dengan senyuman tulusnya yang membuncah hati Zalwa. Saat ini Zalwa merasakan kehangatan tersendiri, melihat bagaimana sang Nenek mengucap syukur atas pemberian Ikawa.

"Zalwa Teodora Eugenia!"

Zalwa berdecak. "Oke, Nek. Sehat selalu! Zalwa pergi dulu!"

"Hati-hati yah, Nak sama pacarnya juga."

"Do'ain ajah Nek, segera jadian sampai pelaminan!" Zalwa langsung melompat ke motor Ikawa dan memeluk perut Ikawa posesif. Bahkan kepalanya bersender dengan gemas di bahu cowok itu.

Ikawa menggeliat kesal dengan mata membola tidak percaya. Apalagi mendengar teriakan Zalwa tadi yang mengundang decakan kagum dari pengendara lain. Ikawa sejatinya malu dengan hal itu, candaan Zalwa memang tidak ngotak sekali.

Sektor 3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang