Regret (?)

274 56 2
                                    

"Rey," panggil seseorang dari sampingnya. "Menurut lo rundown A apa B? Kalo rundown A kita pastiin outdoor konsepnya. Tapi kalo rundown B lebih ke indoor, euforianya kayak bukan inaugurasi banget."

Si Rean yang diajak ngomong sama lawan bicaranya yang udah nyoret-nyoretin kertas itu masih bengong. Dia menatapi ponselnya dengan pandangan kosong.

"Rey?" Si cewek ini udah ngibas-ngibasin tangannya beberapa kali ke depan mata si Rean. Tapi dia masih nggak bereaksi apapun. Akhirnya dia gebrak mejanya dan membuat cowok itu kaget dan gelagapan.

"Eh apaan, Dher?" Rean akhirnya memfokuskan pandangannya ke arah Dhera, si penanggung jawab seksi acara. "Sorry gue nggak fokus."

Dhera mendengus. "Tau gue, dahlah mending bahas pas rapat per-PJ aja. Gue males jelasin dua kali. Kalo nggak baca-baca aja dulu file master acara yang gue kirim. Kalo ada yang lo tanyain, chat gue aja." Cewek itu kemudian membereskan bawaannya.

"Dher, sorry. Gue bakal advise abis ini. Sorry gue buang waktu lo."

Dhera tertawa. "Santai, bro. Gue ngerti lo lagi di fase acceptance abis putus. Kayak, lo lagi berusaha menerima realita gitu deh."

"Apasih, Dher. Jangan sok jadi pakar cinta deh lo. Udah sana, katanya mau jajan boba sama pacar lo." Rean menyangkal kenyataan pahit yang dikatakan temannya itu, padahal dalam hati ia mengakuinya.

"Cewek lo itu unik, dia tipe yang kalo lo diemin, dia bakal cari segala cara buat bikin lo nggak jenuh. Istilahnya kayak moment maker banget. Tapi dia tuh tipe yang sekali udah lo kecewain, minta maafnya harus tulus banget. Cuma kalo dia masih sayang, dia bakal gampang luluh." Dhera terkekeh, biarpun denial si Rean keras kepala ini pasti dengerin dia dengan seksama. "Walapun gue nggak ngerti apa tepatnya yang lo rasain, tapi gue ngerti yang namanya perpisahan tuh pasti bikin lo ngerasa kehilangan sesuatu. Apalagi kalo that person have big impact di hidup lo. Dah ya gue balik, see you di rapat ntar malem."

Rean menghela napasnya berat dan panjang. Si Dhera dengan the right shitnya bikin Rey mengakui mau nggak mau. Di pikirannya terbayang suara nyaring namun terdengar merdu di telinganya, chat-chat bejibun yang biasa dia kirimkan setiap harinya, dan juga kepedulian gadis itu melalui sekotak obat-obatan dan vitamin di lokernya. Karena gadis itu tau, betapa sering ia bergadang dan kurang tidur karena tugas dan keperluan organisasinya.

"Should I make us up as we used to be?"

***

Nindy dan Wina udah dari tadi naruh kepalanya di meja perpus. Mereka lagi ngerjain tugas summary dari beberapa buku dan menulis tangan hasil ringkasan mereka. Di halaman ke tiga, mereka udah tepar duluan. Gimana nggak? Tugasnya itu bikin summary minimal 6 halaman, sumber 2 buku penulis lokal dan 3 buku internasional. Wajib tulis tangan dan menemukan statement yang tidak disetujui dan mempresentasikannya. Hadeh baru baca instruksi aja udah bikin kepala panas apalagi ngerjainnya.

Nindy memainkan ponselnya, sambil bergumam dia men-scroll sosmednya. "Block ga ya." Belum sempat ia mengeklik 'block this user', ponsel dia diambil Wina.

"Block aja, lama ih lo."

Nindy merutuki dirinya kenapa harus bergumam seperti itu. "Hmm."

"Nggak usah pundung gitulah, Nin. Lagian ngapain sih lo scrolling feed ig dia?"

Nindy tidak menjawab dan hanya bersikap seolah ia tidak mendengarkan temannya itu.

Brak. Suara pintu terbuka agak keras itu membuat Nindy dan Wina reflek menoleh. Ternyata Alice, temen mereka dari fakultas ujung alias HI. Dia lagi nyeret Jian yang membawa tas jinjing yang lumayan gede.

"Bar-bar amat lo, Lis. Ngapa Jian juga di sini?"

Jian menunjuk tangan Alice yang memegang sikunya. "Gue ditarik sama dia buat bantuin bawa boba, seblak, sama gatau deh jajanan apaan. Padahal gue mau ke timezone."

"Ya udah sih, Ji. Lo mainnya sama anak kontrakan lo mulu, ntar dikira homoan lo."

Jian menggeleng pasrah. "Lambemu, tapi serah lo deh." Lalu ia mengambil tempat di sebelah Nindy. "Nih ambil. Gue beliin brownies lumer kesukaan lo."

Nindy melebarkan matanya dan bergegas membuka tas yang dibawa Jian. "Makasih ayang."

Wina berdecih. "Ayang ayang, move on dulu baru baperin anak orang." Katanya ceplas ceplos.

Alice yang sadar jika Wina bakal panjang lebar nyeramahin Nindy, kini mengalihkan perhatian mereka. "Gue tadi hampir ketauan pas masuk perpus bawa tas ini."

"Iyalah orang dibilangin mereka suruh ke tribun aja, makan di sana. Eh malah di sini. Untung alibi gue bagus." Jian menepuk dadanya bangga. Nindy sama Wina menatap Jian dengan pandangan bingung. "Tadi gue bilang, bu ini tuh isinya buku-buku tebelnya si Alice. Buat nimpuk si Nindy sama Wina biar melek ngerjain tugasnya. Sama paling minuman doang bu, buat ngedinginin kepala mereka." Jian mengulangi perkataannya tadi pada penjaga perpus.

Alice sudah bergidik geli sejak Jian mengulangi perkataannya tadi. Sedangkan Wina sama Nindy agak takjub, soalnya Jian kan anaknya tuh pemalu. Ini kalo sama orang baru sih, kalo sama temen-temen dia mah si Jian sukanya malu-maluin.

"Thanks deh, Ji. Gimana pun lo our savior banget hari ini." Kata Wina yang sudah membuka boba dan bermaksud memakan seblaknya.

Jian menggeleng melihat ketiga cewek di depannya sudah mulai makan dengan lahap. Ia menoleh pada Nindy yang mengunyah pelan, antara menikmati browniesnya atau tengah memikirkan hal lain. Cowok itu mengambilkan satu boba rasa vanila, yang ia ketahui sebagai kesukaan Nindy dan menusukkan sedotan ke plastic cup itu.

Wina dan Alice yang sedari tadi mengobrol, kini berpura-pura melanjutkan obrolannya. Tetapi mata mereka saling melirik pada dua sejoli di depannya.

Sementara Nina yang melihat perlakuan Jian padanya, ia teringat saat cowok itu bersamanya di saat ia berpisah dengan Rean. Jian pasti kasihan padanya, karena dia menyedihkan saat itu. Saat ia tersenyum berterima kasih pada cowok itu, Jian hanya mengangguk. Tetapi Nindy merasa dari tatapan Jian ada yang berbeda. Cowok itu seperti menatapnya teduh, menenangkan. Dan mungkin menghanyutkannya.

Stuck on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang