Caught Up

78 13 0
                                    

Rean buru-buru memasukan barang-barangnya ke tas dan memakainya. Ia melihat sekelilingnya, teman-teman BEM-nya masih pada duduk dan berbincang satu sama lain. "Gue cabut duluan ya, Jen." Katanya pada Jendra, teman sekontrakan juga temen seorganisasinya.

Jendra yang tadinya memainkan ponselnya kini menatap Rean. "Buru-buru amat?"

Rean mengangguk cepat sambil mencari kontak motornya. Setelah menemukannya, ia lalu berdiri dan berlalu dari ruangan rapat. Tak lebih dari sepuluh menit kemudian, ia sudah tiba di kos tempat Nindy tinggal dengan sebuah plastik di tangannya.

Tok tok. Ketuknya beberapa kali yang lalu disahuti pemilik kamar. "Masuk aja."

Rean memutar kenop dan membuka pintu itu, ia menemukan seseorang dengan wajah lesunya. Bergegas ia menutup pintu sebagian dan menghampiri ranjang gadis itu. "Masih sakit?" Tanyanya dengan mimik khawatirnya.

Nindy tersenyum sambil menggeleng. "Laper."

Rean tertawa dan mengacak rambut cewek itu gemas. "Gue bawain bubur ayam, mau?" Nindy mengangguk antusias. Lalu cowok itu mulai nyuapin Nindy perlahan.

"Padahal gue bisa makan sendiri."

Rean membelai rambutnya lembut. "Bisa bukan berarti nggak boleh dibantuin kan? Ngomong-ngomong kemarin gue yang sakit, sekarang gantian lo." Tawanya pelan namun seketika pudar. "Dan itu gara-gara dipukulin orang asing. Lo nggak ngerasa aneh?"

Sudah Nindy duga, ia juga merasa seperti itu. Pertama, Rean terluka beberapa hari lalu karena mengusir orang mencurigakan yang mengintai kontrakannya. Kedua, Nindy yang berusaha mencegah Rjez ngikutin Jian, yang berujung dia ditendang bahunya dan ditampar. Nindy jadi takut, kalo mereka yang bukan orang yang diincar aja udah dilukai kayak gini. Lalu gimana dengan Jian? Apa yang bakal dilakuin orang kayak Rjez ke Jian?

Memikirkannya membuat Nindy pusing. "Nggak tau, Kak Rey. Entah kebetulan atau gimana."

Rean juga meringis, pikirannya terkuras sejak rapat tadi dan kini ia lelah. "Nin, gue capek."

Nindy menoleh. Tumben banget seorang Rean ngeluh. Tapi Nindy seneng, karena ini pertama kalinya Rean bisa berbagi bebannya padanya. "Mau cerita?"

Rean tersenyum tipis. "Jujur, gue ikut banyak kegiatan di kampus karena nggak pengen ngerasa kesepian di kontrakan atau di rumah. My home already lost, Nin. Even gue juga nyaman di kontrakan, tapi yang literally a home buat gue nggak ada. I only have a dad who never care I'm still alive."

Nindy menggenggam tangan cowok itu erat. Berusaha menyalurkan kekuatan. Berusaha memberitahunya bahwa ia tak sendiri. Ia tak ingin menyela.

"Kali pertama waktu gue merasa I find a home itu ketika gue ngeliat lo di lapangan bola. Sampe akhirnya I lowkey pdkt ke lo dan kita backstreet ahahaha karena lo nggak mau ketauan jadi pacarnya orang terkenal."

Nindy ikut tertawa. Setelah dipikir-pikir, saat itu memang sudah hampir setahun yang lalu. Namun ia masih bisa merasakan bahagianya ia saat itu. "Masih inget aja."

"Iyalah ya. Soalnya itu salah satu hal terbaik yang gue dapetin dalam hidup. Had you."

***

Nindy menerima kembalian dari kasir minimarket lalu mengambil belanjaannya. Ketika berjalan ke pintu keluar, dia menghela napas ketika hujan tak kunjung reda dan langit berwarna abu-abu gelap.

Nindy ngamatin sekilas satu persatu orang yang lagi berteduh itu. Ia mengerutkan keningnya ketika matanya menangkap sosok yang familiar. Itu Jian?

Ia beralih ke seseorang di belakang Jian. Ketika mengenalinya ia melebarkan matanya. Jian dalam bahaya. Pikirnya. Nindy kemudian mengamati mimik Jian dari jarak yang cukup jauh. Cowok itu kelihatan resah. "Permisi, permisi." Ia menyela space yang cukup sempit agar mencapai tempat Jian. "Sial." Hampir sedikit lagi ia sampai, namun Jian tiba-tiba berjalan cepat dan diikuti oleh Rjez.

Stuck on YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang